Beberapa hari sebelum saya menulis ini saya bertemu dengan seorang yang luar biasa dari Kota Blitar. Dia memberikan sebuah peribahasa Jawa yang sangat cocok dengan keadaan orang Jawa “luntur” yang serba “mertanggung” yaitu “Londho wurung Jawa tanggung”. Peribahasa ini mengacu kepada orang Jawa yang berusaha keras meniru perilaku orang-orang Eropa. Mau menjadi Londho, Belanda, Bule, tidak jadi, tidak kuat, karena dia tidak punya sumberdaya yang cukup. Dari luar orang-orang seperti ini malah terlihat “angkuh” dan “lucu” sebab dia tidak memiliki kemampuan untuk mengadaptasi kebudayaan serta pola berpikir barat sepenuhnya. Namun di lain pihak dia juga tidak bisa menerima dengan pemikiran dan kebiasaan-kebiasaan ke-Jawa-annya.
Orang Jawa “luntur” seperti ini adalah orang-orang yang banyak bertemu dan bergaul dengan kalangan ekspatriat di kampung halamannya sendiri. Mereka adalah kalangan yang mengalami goncangan budaya yang sangat kuat, sehingga mempengaruhi penilaiannya secara pribadi terhadap norma-norma yang terjadi di dalam kehidupannya sendiri.
Terdapat keinginan yang sangat kuat pada diri mereka untuk menjadi bagian dari pribadi seorang Londho. Mereka berusaha keras untuk mengadaptasi segala aspek kebudayaan Londho tersebut. Mereka membersihkan badan dan lingkungan mereka dengan cara eropa, mendengarkan musik barat dan menjadi anti terhadap musik melayu klasik. Mungkin mereka tidak mau dibilang anti dengan lagu-lagu tradisi, tapi ketika anda melihat koleksi lagu mereka, maka anda hanya akan menemukan lagu-lagu Eropa atau Amerika. Jangankan berpartisipasi untuk melestarikan lagu-lagu tradisi, mendengarkan saja mereka jijik (tidak hanya mengantuk). Tidak percaya? Temukan satu orang Jawa “luntur”, putar satu tembang keroncong dihadapan mereka! Perhatikan pandangan mereka yg terbuang ke kiri bawah, alis tertarik kebawah kemudian keatas, dan satu sisi bibir tertarik ke arah telinga. Ini adalah pandangan “contempt” dalam istilah Micro Expression. Pandangan yang sama ketika seseorang melihat temannya memakai baju yang lusuh dan ketinggalan jaman.
Dari luaran orang Jawa “luntur” seperti ini kelihatan seperti Londho, tapi dalamnya tidak. Kebanyakan orang keturunan Eropa adalah orang-orang yang “to the point”, yang berbicara blak-blakan, berani berdebat , mengutarakan pendapat dan meminta kedudukan yang seimbang sesama pembicara. Saya punya seorang teman Jawa yang dekat dengan ekspatriat, ngomongnya blak-blakan, dan sangat berani mengutarakan pendapat. Tidak hanya berusaha blak-blakan atau berterus terang, dia juga berusaha menunjukan kepada orang lain bahwa dia telah sukses mengadaptasi kedisiplinan orang bule. Apakah benar dia telah sukses seperti yang dia tunjukan???
Pada suatu tempo saya mengadakan eksperimen untuk berbicara sebagai seseorang yang sejajar kepada seorang Jawa “luntur” sebagai seorang yang memiliki pendapat kuat. Apa yang saya dapat? Alis yang naik, mata yang hampir bundar, otot bibir menegang, dan otot janggut yang naik keatas! Ketersinggungan yang luar biasa, dan kemarahan! Suatu micro ekspresi yang tidak biasa saya temukan ketika saya berbicara berterus-terang pada orang-orang keturunan Eropa. Sering juga saya membuat kesepakatan untuk bertemu pada suatu waktu tertentu. Dan apa yang terjadi? Ketika saya datang tepat waktu, dia tidak. Seringkali saya harus menunggu 15 atau 20 menit.
Pemahaman saya adalah: ini hanyalah masalah gaya. Orang Jawa “luntur” hanya ingin gedhe-gedhean gengsi, ingin dipandang lebih ketika dia berhasil mengadaptasi budaya yang menurut dia sendiri lebih maju. Yang terjadi adalah: dia hanya merasa prestige-nya naik kalo dia bergaul dan berperilaku dengan ekspatriat.
Padahal :
· Bahasa Inggrisnya masih sangat medok, dan kedengaran lucu bagi kebanyakan ekspatriat.
· Dia hanya mengkoleksi buku di rak buku, belum tentu dia sudah membaca semua. Dia hanya ingin kelihatan berpengetahuan luas seperti kebanyakan bule.
· Dia hanya Ingin kelihatan “stoic” padahal dia dididik sebagai anak Jawa. Akhirnya sempoyongan.
· Dia tidak terlalu suka dengan makanan barat yang mahal, banyak bumbu, tapi belum tentu enak. Tapi karena gengsi, dia jadi “mekso-mekso”.
· Pengetahuannya payah banget. Tanya aja mereka apa itu Capoeira, Formosa Triangle, Nikita Kruschev, Billy The Kids, Tank Tiger, Barbie, XM-8, Tao Teh Ching.
Orang Jawa ya orang Jawa, wong akarnya juga Jawa. Buku apapun yang dia baca, dengan teman manapun dia bergaul, pemahaman apapun yang dia terima, agama apapun yang dia yakini… Jawa ya tetap Jawa. Kalo enggak!!!? Ya terseserah… cuma kelihatan lucu bin konyol aja kok.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar