Minggu, 16 Agustus 2009

Hai orang Indonesia, kita ini bodoh... ayo belajar...

Beberapa tahun yang lalu seorang teman mengatakan kepada saya “jika engkau bertemu dengan orang asing, jangan pernah kau ceritakan tentang keburukan yang ada pada kita orang Indonesia”. Ya beberapa tahun yang lalu saya setuju dengan teman itu, namun saya mulai merasa bahwa tidak ada gunanya jika keburukan itu ditutup-tutupi… tidak akan membawa perubahan dan tidak akan membawa kita kemana-mana. Nah daripada ditutup-tutupi, mendingan saya tuliskan saja semuanya di sini, agar semua orang Indonesia tahu tentang sesuatu yang tidak baik yang ada pada mereka dalam pandangan saudara sebangsa mereka sendiri. Bahkan saya akan senang jika ada orang asing yang membaca ini, walaupun saya akan sangat merasa malu, tapi itu lebih melegakan daripada saya harus menyimpan kebodohan itu semua di dalam kepala saya.

Berikut adalah daftar kebodohan orang-orang Indonesia, utamanya orang-orang Jawa dalam pandangan pribadi saya. (kebodohan itu juga terjadi pada diri saya, yang setiap hari saya berusaha bergelut mengalahkannya).

Berkendara sangat pelan dan egois : dahulu kala akan banyak yang menyalahkan saya apabila saya memberikan statement bahwa orang Indonesia senang sekali membuang waktu mereka dengan berkendara pelan di jalan. Mereka akan dengan senang hati akan mengatakan “bukan mereka yang terlalu pelan… tapi kamu yang ngawur dan ugal-ugalan”. Namun sekarang saya memiliki banyak teman yang memiliki sudut pandang yang sama dengan saya, malah seorang teman Amerika menambahkan bahwa orang-orang Indonesia, kebanyakan dari mereka berkendara dengan sangat egois. Kata seorang teman Amerika itu orang Indonesia dapat berkendara dengan sangat pelan, membuat jalan menjadi sangat macet tanpa merasa bersalah. Seorang teman berkebangsaan India yang lain berkata bahwa kebanyakan orang Indonesia tidak banyak memiliki energi untuk melakukan banyak hal, sehingga mereka beraktifitas dengan sangat lamban.
Seperti api yang akan membesar jika tertiup angin, orang kami juga dapat berperilaku demikian. Ironi sekali bahwa jika mereka “tertiup angin” maka mereka akan memutar atau menekan gas penuh dan mengendarai kendaraan seperti orang gila kesetanan dengan membahayakan nyawa orang lain.

Kotor : kebanyakan dari orang-orang Indonesia kurang menjaga kebersihan, baik itu kebersihan badan, kebersihan rumah, juga kebersihan lingkungan. Jarang sekali ditemui tempat sampah lebih dari satu di rumah-rumah orang Indonesia. Kami memiliki tempat mandi, dapur, kamar dan ruangan-ruangan lain yang kotor yang jarang sekali kami bersihkan.

Malas : orang-orang Indonesia Pribhumi (Irlander, penjajah Belanda menamakan kami seperti itu) memiliki kebiasaan melakukan segala sesuatu dengan sangat pelan dan tidak efisien. Daripada memikirkan masalah pribadi kami masing-masing dan bertindak membuat perubahan, kami justru lebih senang nongkrong di pinggir jalan atau berkumpul di rumah seseorang untuk sekadar merumpi/ membicarakan sesuatu untuk sekedar “membicarakannya”, jarang sekali kami bertindak setelah pembicaraan itu berakhir.

Memiliki mood yang ekstrim : ini adalah ironi yang kami miliki, utamanya menjangkiti pemuda kami. Ketika pemuda kami mendapatkan motivasi tertentu untuk berbuat sesuatu tertentu… maka seolah-olah mereka itu meledak dengan semangat baru itu, menabrak-nabrak aturan dan norma-norma sudah ada. Namun jika tidak terus di motivasi, maka tidak sampai hitungan minggu semangat itu akan hilang sama sekali, entah kemana larinya tenaga menggebu-gebu itu. Akan tetapi penyakit ini tidak melulu menjangkiti kaum muda, beberapa orang yang sudah berumur yang saya kenal (termasuk orang tua saya sendiri), mereka memiliki kecenderungan memiliki mood yang sama parah dengan pemuda kami. Suatu ketika ada seorang pemuda yang pulang dari pengajian dengan membawa idealisme baru yang menggebu-gebu, cara dia bertindak dan berkata-kata terkesan sama sekali jauh berbeda dengan dia yang dulu sebelum mendatangi pengajian itu… betul-betul ekstrim. Namun setelah tiga hari kesan itu mulai meluntur dan pada akhirnya pada hari kelima perilaku serta tindakannya kembali sama sekali seperti dia sebelum datang ke pengajian itu. Idealisme yang aneh dan rapuh.

Sangat buruk dalam memperlakukan perkakas : kebanyakan kami tidak terlalu memperdulikan perkakas untuk mempermudahkan hidup kami. Mungkin nenek moyang kami sudah seperti itu, coba tengok ke pinggiran kota (tidak perlu masuk sampai ke pedalaman, karena penilaian tidak menjadi objektif karena di pedalaman perdagangan belum maju). Di pinggiran kota di mana kebanyakan penduduknya merupakan pengungsi dari pedalaman (yang masih lugu dan berpikir dengan pikiran yang tidak jauh berbeda dengan nenek moyang kami), anda bisa lihat rumahnya begitu amburadul, dan terkesan aneh. Peralatan entertainment mahal dan kebutuhan tersier seperti HD-DVD player, Home theater surround system, Play Station, ponsel semi PDA, MP3 portable dan lain-lain akan ditemukan dengan sangat mudah di beberapa rumah yang agak menengah. Namun mereka tidak memiliki tempat sampah lebih, alat kebersihan yang memadai, vacuum cleaner, pancuran air mandi, microwave, peralatan dapur yang memadai, dan alat kebutuhan lain sehari-hari yang penting. Ini menunjukan bahwa kami masih memperlakukan diri kami dengan cara yang masih primitif, sementara peralatan entertainment mahal tadi menunjukan betapa kami sangat haus dengan hiburan… karena kami sering gagal merencanakan jadwal kesibukan untuk mengisi hari-hari kami yang tidak sibuk dan remeh temeh.

Menempatkan ego pada posisi yang tidak wajar 1 : kebanyakan dari senior kami akan bertindak sedingin-dinginnya kepada junior mereka. Dengan demikian junior akan merasa takut dan selalu merasakan misteri terpendam terhadap senior mereka… dan senior itu mendapat penghormatan dari junior mereka. Menurut saya ini memang realitas yang aneh, paradigma yang aneh, daripada bertindak dingin seperti itu seharusnya sang senior bisa belajar banyak hal terus menerus kemudian memberikan pengalamannya itu kepada juniornya tersebut. Saya pikir hal itu akan lebih mendatangkan sikap hormat dari junior kepada seniornya tersebut. Bersikap dingin seperti itu juga membuat bangsa kami semakin bodoh dari hari kehari, karena minimnya transfer pengetahuan dari senior ke junior.

Menempatkan ego pada posisi yang tidak wajar 2 : ciri khas kami, salah satu yang dapat dipakai untuk menandai bahwa kami adalah orang Indonesia asli, adalah kami saling unjuk wibawa (jaim: jaga Image) diantara kami sendiri dengan bersikap tertentu. Orang kami yang berasal dari kalangan militer, polisi atau pegawai pemerintah yang lain bersikap sok dengan berjalan atau duduk dalam posisi tertentu yang justru membuat mereka terkesan angkuh. Beberapa dari kami yang berasal dari masyarakat biasa menjaga wibawa mereka sesuai dengan tempat dan kesukuan darimana mereka dibesarkan, bentuknya bisa sangat berlainan, namun sama-sama angkuh dan… tidak peduli.
Beberapa saat yang lalu saya berniat menabung di sebuah bank pemerintah. Dalam sebuah antrian, saya berdiri di belakang dua orang kecil mungil berseragam militer. Antrian itu sudah maju dan terdapat ruang kosong diantara pengantri depan dengan dua orang tentara itu, namun mereka sibuk mengobrol dan ketawa ketiwi. Dengan lembut saya mencoba mengatakan kepada mereka untuk maju sedikit karena beberapa orang juga butuh mengantri. Dua orang tidak maju tanpa memandang saya dengan sangat pedas. Sempat terlintas dikepala saya untuk membanting dua orang tentara mungil itu ke lantai.
Dahulu saya pernah mengalami kelaparan yang begitu hebat ketika saya sedang berkendara. Saya minggir untuk kemudian berniat membeli masakan vegetarian di sebuah warung. Di dalam warung itu ada seseorang yang usianya lebih tua daripada saya yang sedang duduk di bangku sementara kakinya selonjor menghalangi jalan saya. Dia tahu persis bahwa sedang berjalan untuk mendapatkan duduk di bangku sebelahnya (orang ini duduk di ujung bangku sehingga saya harus melewatinya), namun orang tersebut tidak tergerak untuk menarik kakinya yang menghalangi jalan saya. Karena saya sudah begitu jengkel, maka saya langkahi saja kakinya tanpa mengatakan permisi. Sebenarnya dia minta dihormati, dia ingin saya memohon permisi, nyatanya saya tidak melakukannya, dan nyatanya lagi dia tidak berani menegur saya karena badan saya lebih besar daripada dia.
Orang-orang kami menjaga kehormatan dengan cara yang aneh.

Sikap membebek yang keterlaluan : orang-orang kami adalah manusia oportunis yang senantiasa kecanduan dengan hegemoni yang berlaku. Umum di dengar bahwa dalam suatu kampung tertentu jika seseorang berhasil dalam suatu pekerjaan, maka tetangganya akan membebek melakukan pekerjaan yang sama dan bersaing tanpa mengenal malu. Saya memiliki usaha Play Station yang biasanya menjadi pionir di beberapa tempat, dan selalu ramai. Beberapa saat kemudian selalu ada saja diantara tetangga yang ikut-ikutan menjalankan usaha yang sama, mengekor dan menempel dan senantiasa bersiap berkonflik.
Gengsi dalam sekala yang “aneh” : jika anda pergi ke suatu kampung, baik di kota maupun di desa anda akan melihat fenomena gengsi gedhe-gedhean. Anda akan menyaksikan orang-orang berlomba menghias depan rumah mereka supaya terkesan mentereng kalau dilihat dari jalan, namun jika anda berkesempatan masuk jauh lebih dalam… maka rumah itu akan semakin kebelakang akan semakin melompong. Itu adalah kekuatan unjuk gengsi yang luar biasa gila. Hal itu juga dapat di temui dalam bentuk unjuk motor, ponsel atau unjuk pakaian.

Menjunjung tinggi kehormatan diri yang aneh : kebanyakan dari orang kami akan sangat malu dan kalap jika mereka di fitnah melakukan sesuatu yang tidak mereka lakukan. Jika sudah seperti ini mereka dapat melakukan apa saja (saya menganjurkan agar orang seperti ini jangan di dekati). Namun ironinya, sebagian besar dari mereka tidak akan malu melanggar antrian orang, atau mengambil hak orang lain.
Saya memiliki seorang teman yang memiliki harga diri yang aneh sekali. Jika menyangkut agama yang dia yakini (dia adalah seorang pemeluk agama yang payah) dia akan menunjukan raut muka konyol jika agama yang dia peluk ditempatkan pada pembicaraan yang tidak sepatutnya sesuai dengan sudut pandang kebenaran yang dia miliki. Namun dia tidak merasa malu jika dia mendapatkan bayaran dari usahanya menggandakan video cabul.

Kurang memiliki rasa bersalah : setiap orang tahu bahwa Indonesia adalah suatu negara dengan angka korupsi yang “fenomenal”. Seorang teman dari Australia mengatakan bahwa memang Indonesia masuk dalam daftar yang dicurigai bagi para pendonor dana dari negara asing yang ingin memberikan dananya untuk kemajuan rakyat Indonesia. Saya tidak berpikir bahwa budaya korupsi adalah produk pemerintahan orde baru yang dipimpin oleh presiden Soeharto, saya cenderung berpikir bahwa memang korupsi adalah budaya asli masyarakat Indonesia, korupsi memang sudah menjadi perwatakan orang Indonesia.
Ketika dulu masih di taman kanak-kanak, dalam sebuah acara tertentu yang diadakan oleh sekolah TK tersebut, kami bersukaria mendatangi acara tersebut dengan didampingi oleh ibu-ibu kami. Seorang guru membawa satu tas plastik yang berisi kue tradisional, beliau mengatakan bahwa setiap anak hanya boleh mengambil satu, tidak lebih. Namun ada orang tua yang membisikan pada anaknya untuk mengambil kue lebih dari satu dengan alasan ada beberapa anak tetangganya yang tidak datang pada acara tersebut karena sakit, nah kue yang seharusnya menjadi hak anak yang sakit itu boleh dimiliki.
Beberapa tahun yang lalu saya membantu sebuah Vihara membagi-bagikan kebutuhan pokok kepada para petani dan penduduk sekitar yang membutuhkan. Dalam kegiatan itu panitia telah memberikan kupon kepada orang-orang yang membutuhkan, namun pada saat acara pembagian berlangsung, saya menjadi saksi bahwa beberapa kupon telah digandakan oleh banyak orang sehingga membingungkan kami para panitia, kami tidak dapat membedakan mana kupon yang asli dan mana kupon yang palsu. Selain itu ada beberapa orang yang kelihatan dari baju dan kacamata yang dia pakai menunjukan bahwa dia adalah seorang yang mampu… tapi sedikitpun dia tidak merasa bersalah ketika tangannya mengulurkan kupon kepada panitia.
Bukankah ini sikap-sikap yang membenihkan korupsi?

Membuang-buang waktu : orang-orang di kampung saya gemar sekali membuang-buang waktu mereka dangan hal-hal yang remeh temeh seperti mengobrol hal tidak penting sepanjang waktu. Tergantung dengan tebalnya kantong yang mereka miliki… ada yang mengobrol di pinggir jalan, di rumah, di warung, di restoran, di club house atau di tempat golf… intinya ngobrol ngalor and ngidul.

Tidak tepat waktu dan tidak tepat janji : saya dengar bahwa orang asing seringkali jengkel dengan kebiasaan jam karet orang-orang Indonesia. Sebagian memang sungguh payah orang-orang kami ini, tidak jarang dalam sebuah kesepakatan mereka molor hingga satu hari lamanya atau malahan tidak datang tanpa pemberitahuan.

Pendidik yang buruk : banyak sekali orang tua yang terlalu banyak omong dengan memberikan aturan kepada anak-anak mereka tentang apasaja yang boleh mereka lakukan dan yang tidak boleh mereka lakukan. Ironisnya lagi kebanyakan dari orang tua itu malah menjadi pelanggar berat dari aturan yang mereka buat sendiri.
Contoh paling parah yang sering terjadi di Indonesia adalah perintah orang tua kepada anak untuk tidak merokok, sementara bibir orang tua itu sedang menggapit sebatang rokok yang berasap ketika mereka sedang memberikan perintah tersebut.

Boros : mungkin karena kebiasaan gengsi gedhe-gedhean yang kami miliki itulah, maka setiap orang berusaha untuk mencoba untuk tampil sebaik mungkin dengan memakai baju yang mahal-mahal. Saya masih ingat ketika saya dulu bekerja sebagai buruh industri, beberapa orang teman saya yang sama-sama digaji rendah… mereka dapat membeli sepasang sepatu boot cowboy seharga satu bulan gajinya. Dia membeli itu sebagai persiapan kencan dengan pacarnya malam minggu.

Tidak mengenal pembelajaran : hal inilah yang paling memprihatinkan dengan kami. Kami hampir tidak mengenal pembelajaran karena kami lebih tertarik menjalani hidup dengan cara yang “lumrah” menurut pola berpikir kami sendiri. Kami tidak mampu atau mungkin tidak mau mengenali disiplin orang lain yang mungkin dapat kami tiru untuk memajukan perikehidupan kami. Bahkan mahasiswa kami yang kelihatan panas dan agresif menuntut “kebenaran dan pengetahuan” sewaktu mereka berkuliah… semangat mereka menjadi lekang seiring dengan urusan mereka dengan bangku kuliah selesai. Kebanyakan dari mereka cenderung berpikir dengan pemahaman yang lebih sederhana yaitu bekerja mencari uang sebanyak-banyaknya kemudian membangun keluarga. Idealisme mereka tertinggal di belakang.
Kebanyakan dari kami lebih memilih kehidupan dengan menjalani apa yang ada. Jadi daripada menaruh suatu cita-cita tertentu dan menekuninya, kami lebih suka mengambil peluang pekerjaan yang tidak rumit dan tidak memerlukan memeras otak serta tidak mengandung resiko yang tinggi. Kami lebih senang menganggur berjalan kesana kemari untuk melihat-lihat. Itulah mengapa kita dapat menemui orang-orang berjalan tidak tentu arah hanya sekedar ”berjalan-jalan”. Beberapa teman barat membicarakan hal ini dengan nada yang miring.
Pemuda kami juga demikian… dari pada meluangkan waktu mereka untuk membaca buku atau menonton film dokumenter atau bertemu dengan orang yang berpotensi menambah pengetahuan mereka… mereka malah lebih senang gentayangan pergi kesana kemari menghabiskan uang bersama pasangan mereka masing-masing. Atau duduk diam menghabiskan waktu berjam-jam menonton televisi, membaca komik, menonton opera sabun atau menonton film vulgar.

Pejuang yang payah : “jangan terlalu banyak mempekerjakan orang Jawa, mereka ini pemalas yang rapuh, tidak mampu bekerja keras dan mudah memberontak” kata seorang pemilik perusahaan di tanah transmigrasi kepada managernya. Memang dalam banyak hal kami berharap bahwa kami dapat bekerja dengan sesedikit mungkin tenaga. Ada sebuah pepatah bahwa orang kami akan berhenti bekerja sebelum keringat menetes namun kami baru akan berhenti makan setelah keringat menetes.

Payah...payah dan payah....

2 komentar:

  1. Itulah Indonesia, yang paling penting dapatkah fakta diatas dibuat sebagai kekuatan untuk menjadikan hidup dan kehidupan ini lebih baik.
    Fakta yang disebutkan diatas bukanlah sikap mental (mind), tiap orang akan mempunyai sikap mental terhadap fakta yang tertulis tersebut. dengan keberanian Anda menulis fakta yang ada menurut persepsi Anda maka, saya berkeyakinan Anda bersemangat untuk merubah kondisi agar terjadi kebaikan bagi bangsa ini. Semoga tulisan ini dapat menjadi sarana introspeksi kita semua, Amien.

    BalasHapus
  2. Oke mas Widayanto, mari berbakti pada Ibu Pertiwi.

    BalasHapus