Kamis, 30 April 2009

Iwo Jima

Saya sekarang benar-benar takut pada pagi hari sebelum jam sembilan. Ada beberapa alasan yang menyebabkan saya takut pada pagi hari antara lain:

• Saya kesulitan untuk bangun jam setengah lima pagi (biasanya saya bangun jam sekian untuk berolahraga sepeda). Mata serasa terkena lem, sulit di buat melek, kepala berat minta ampun, perbedaan suhu yang ekstrim antara di dalam selimut dengan suhu diluar selimut. Saya tetap saja mengalami kesulitan bangun tidur meskipun saya sudah tidur selama delapan jam.
• Sarapan seringkali siap setelah jam sembilan.
• Sebelum jam 9 pagi, lagu-lagu Osing belum diputar di Progama Papat RRI Malang.
• Air untuk mandi luar biasa dingin.
• Jika saya bangun kesiangan (jam tujuh misalnya) maka saya akan gagal bersepeda karena saya takut kulit saya hitam terbakar sinar matahari. Beberapa teman saya yang berkulit putih meremehkan perasaan kecewa karena kulit menghitam akibat terbakar matahari. Andai saja kulit mereka bisa menghitam… maka baru tahu rasa mereka.
• Biasanya saya tidak memiliki pekerjaan untuk dilakukan, sehingga saya hanya mondar-mandir untuk mencari pekerjaan.

Sekarang saya benar-benar takut pada malam hari setelah jam sembilan. Ada beberapa alasan yang menyebabkan saya takut pada malam hari antara lain:

• Suasana kampung masih ramai hingga jam sepuluh malam, sehingga menyebabkan saya sulit tidur.
• Saya jarang bisa sukses tertidur apabila sampai jam sepuluh malam saya gagal tidur. Pikiran saya selalu terpaku pada Ludruk Kartolo CS yang selalu diputar di radio jam sebelas malam. Jadi jika saya gagal tertidur sebelum jam sepuluh, maka saya hanya akan tertidur setelah jam dua belas malam, setelah Ludruk Kartolo berakhir.
• Kadang-kadang teman yang bertandang kerumah, jarang mau pulang sebelum jam sepuluh malam atau kadang-kadang lebih.
• Kadang-kadang saya mengalami kesulitan tidur karena lapar. Saya tidak ingin melanggar peraturan untuk makan terakhir sebelum jam tujuh malam (kecuali saya diajak pergi ke pesta, hehehe….)

Untuk berhasil dalam segala hal maka diperlukan suatu kedisiplinan yang luar biasa kuat, yang mana kedisiplinan itu hanya dapat berumur panjang jika didorong oleh suatu keinginan yang kuat. Bagi seorang yang tidak memiliki proyeksi kehidupan yang terlalu jelas, maka saya tidak terlalu memiliki keinginan yang menggebu dan kuat, semuanya hanya bayangan samar-samar. Oleh karena itu bagi saya kedisiplinan direbut hanya dengan melalui perjuangan yang teramat sangat berat… seberat Billy, Clint, Clark, Sam dkk merebut Iwo Jima.

Kamis, 23 April 2009

Masa Depan? Kiss My Ass...

Hari ini saya bersepeda ke Desa Kreweh, ini adalah sebuah dusun sederhana yang terletak di pedalaman Singosari. Untuk mencapai dusun ini kita harus melawati sebuah jalan aspal yang menanjak yang membelah sawah seluas mata memandang. Setiap orang meskipun dia adalah seorang atlit sepeda handal, saya yakin kalau dia bersepeda ke dusun ini pasti dia akan ngos-ngos an.

Saya sudah berpuluh-puluh kali mengunjungi dusun ini dengan bersepeda pancal, namun suasana kali ini tidak seperti suasana lainnya. Perasaan saya menjadi sedemikian bahagia sehingga hilang sudah rasa-rasa penat dan capek karena telah mengayuh sepedah melewati jalan yang menanjak. Saya sadar bahwa perasaan bahagia ini muncul karena saya hadir pada masa kini dan menghargainya sebaik mungkin.

Sebelumnya saya selalu menghawatirkan tentang masa depan… sebanyak apapun ajaran bijak dari Budha dan Krishna yang saya baca untuk menghargai kekinian, semua itu hanya menyentuh kulit, tidak pernah menggerakan hati saya untuk mengejawantahkan dalam kehidupan saya. Pada kenyataannya saya hidup dalam bayang-bayang akan masa depan yang serba tidak pasti. Saya memiliki mimpi-mimpi yang sukar sekali untuk diwujudkan. Saya khawatir mimpi-mimpi itu tidak pernah tercapai.

Satu bulan sudah saya mengurung diri di rumah untuk membiasakan diri saya menghadapi realita kehidupan saya yang sesungguhnya. Saya juga belajar untuk tidak selalu bergantung pada orang lain dalam memperoleh suatu kebahagiaan. Dan setelah setiap hari bergulat dengan kebosanan yang teramat pekat, akhirnya saya mendapati bahwa saya tidak menderita ketakutan lagi, namun saya juga tidak berbahagia. Pada intinya saya hanya merasa hambar, namun ini semua lebih baik dari pada memiliki segudang impian namun selalu dibayang-bayangi oleh perasaan takut dan khawatir.

Harus saya akui… impian-impian itu telah menguap sebagian besar. Sakit sekali rasanya ketika impian itu menguap, hilang sudah semangat untuk hidup lebih baik. Meskipun itu tidak berarti bahwa saya membiarkan diri saya dalam keadaan diam berpangku tangan menerima semua keadaan… kaki saya tetap berlari, tangan saya tetap bekerja, namun pekerjaan itu saya lakukan tanpa hati.

Membutuhkan waktu lama untuk dapat menerima suasana hati yang seperti itu… malah kenyataannya saya mungkin tidak ingin menerima kondisi dimana saya bisa mentoleransi suasana hati yang seperti itu. Namun kenyataan berkata lain, hati saya telah kalah, dia telah menghambar dan hanya menginginkan mengurusi hal-hal dalam jangka pendek saja. Saya malu mengakuinya, tapi sepertinya saya telah putus asa.

Sore ini saya memutuskan untuk bersepeda dengan tujuan acak. Setelah mengayuh sepeda beberapa kilometer dari rumah, saya berhenti di dekat sebuah pematang sawah untuk sekedar mengambil napas. Dengan napas yang ngos-ngosan seperti itu saya menoleh ke kanan dan ke kiri melihat sawah dan kebun tebu sejauh mata memandang. Untuk sejenak tidak ada sesuatu yang menarik dari pemandangan-pemandangan itu karena saya sudah melihat mereka berkali-kali. Namun setelah berapa saat mulai muncul keindahan-keindahan dari pemandangan itu. Malahan saya merasa damai dan nyaman… saya bahagia. Saya tidak dapat bayangkan bahwa perasaan ini dapat terjadi satu bulan yang lalu, karena saya selalu berpikir bahwa Indonesia selalu lebih jelek dari pada negeri-negeri lain. Pikiran saya selalu memikirkan luar negeri sehingga saya tidak dapat mengenali keindahan kampung halaman saya.

Masa depan? Kiss my ass…

Rabu, 15 April 2009

Bela Diri?

Apakah beladiri adalah suatu hal yang selalu berhubungan dengan tindakan pembelaan diri dengan menggunakan metode-metode kekerasan? Apakah seseorang akan menjadi berubah perwatakannya ketika dia mempelajari beladiri?

Well I say that martial art is not always used to confront another people, beladiri tidak selalu untuk memusuhi orang lain. Saya lebih suka bahwa beladiri lebih berguna untuk “memerangi” diri sendiri, karena pada kenyataannya beladiri tidak selalu berguna dalam sebuah konflik dengan orang lain… celurit selalu lebih berguna dari pada teknik beladiri manapun.

Beberapa orang, termasuk saya, adalah tipe seseorang yang tidak berdaya dalam mengontrol diri pribadi, kehendak pribadi. Ada semacam kebiasaan berpikir dan perilaku yang tetap dan terus menerus dilakukan meskipun kami tidak memiliki kebanggaan secuilpun atas itu semua. Sekuat apapun kami ingin berubah dan ingin memiliki prospek kedepan yang positif, namun kenyataannya usaha itu hanyalah sebuah perkembangan maju mundur, yang tidak membawa kami kemanapun.

Untuk menjadi seorang pebeladiri sungguhan yang handal (bukan siswa beladiri kuno yang “bullshit”) maka seseorang dituntut untuk mengikuti pola hidup disiplin tertentu. Untuk menang dalam suatu perkelahian, seorang pebeladiri harus memperhatikan berat badan, stamina, kekuatan otot… dan hal ini selalu berhubungan dengan porsi latihan fisik dan porsi makan… belum lagi teknik-teknik yang harus selalu diperbarui. Semuanya itu membutuhkan kedisiplinan yang sangat ketat.

Sudah satu bulan ini saya berlatih beladiri secara intensif, tidak hanya teknik, namun fisik juga saya perhatikan betul-betul. Agar saya bisa berkonsentrasi pada latihan saya ini, maka saya menolak bertemu dengan orang-orang dekat saya, kecuali jika keadaan benar-benar darurat. Selama satu bulan latihan itu saya hanya makan satu kali, dan saya mengisi hari-hari itu dengan meditasi dan kefokusan pada diri pribadi. Memang harus saya akui ada hari-hari di mana saya kalah dengan bagian dari jiwa saya yang pemalas, yang menginginkan sesuatu yang biasa-biasa saja. Jiwa saya yang pemalas itu kemudian meronta dan memberontak dengan sedemikian kuatnya sehingga kemauan untuk mengikuti kedisiplinan itu menjadi tidak berdaya.

Latihan keras selama satu bulan ini adalah sesuatu yang sangat berat bagi saya yang sebelumnya tidak pernah melakukan latihan apapun semacam ini. Hari-hari saya dipenuhi dengan kesepian dan keheningan. Duduk diam dan merenung serta berpikir adalah kegiatan sehari-hari saya. Intinya adalah kontemplasi dan mawas diri, artinya saya melupakan tentang semua keinginan saya untuk sementara untuk memberikan kesempatan kepada saya untuk mengenal diri saya beserta karakternya. Ini adalah penting sekali untuk dilakukan karena saya harus memikirkan strategi yang pas untuk mengalahkan diri saya.

Mengapa saya harus mengalahkan diri saya sendiri? karena saya sudah bosan selalu diperbudak oleh diri saya sendiri beserta dengan kemauan-kemauannya. Saya pikir bahwa saya harus bertanggung jawab kepada diri saya pribadi, dan sebagai manusia yang bermartabat maka saya merasa bahwa adalah suatu kebanggaan untuk membawa identitas diri saya dengan penuh hormat. Maka saya harus bisa memimpin diri saya sendiri.

Ketidakbebasan

Apakah makna kebebasan itu? Sungguhkah seseorang bisa mendapatkan kebahagiaan abadi dengan merengkuh kebebasan? Saya pikir tidak. Ketika dulu saya masih menjadi seorang buruh industri, saya harus mengikuti jam kerja yang sangat mengikat. Kami para buruh diwajibkan mengikuti shift yang jadwalnya selalu berubah setiap dua hari sekali. Shift itu membuat jadwal kegiatan saya amburadul, saya kesulitan mengadakan janji dengan orang lain karena libur saya selalu digilir.

Pada waktu itu saya memimpikan suatu kondisi dimana saya bisa sepenuhnya terbebas dari semua omong kosong tentang jam kerja shift. Kebebasan di mana saya bisa pergi menemui teman-teman kapanpun saya suka, melakukan apapun yang saya suka, dan pergi menginap di rumah teman saya kapanpun saya suka. Mungkin ini terdengar aneh serta remeh, tapi bayangkan saja bahwa anda adalah seseorang yang sedang terjebak dalam sebuah pekerjaan yang tidak anda senangi, dan anda melakukan itu untuk bertahan hidup… sementara anda setengah percaya bahwa kebebasan itu bisa diraih, dan setengahnya lagi kebebasan hanya omong kosong. Bisakah anda merasakan perasaan itu?

Pada pertengahan Bulan Oktober 2008, akhirnya saya mendapatkan kebebasan yang saya impi-impikan itu. Itu adalah sebuah kemenangan besar bagi saya, dan saya tidak dapat menggambarkan kesenangan itu dengan kata-kata. Singkat kata saya begitu senang hingga saya menangis.

Pada saat saya mengetik ini… saya baru menyadari bahwa ini adalah pertengahan Bulan April 2009, sudah setengah tahun setelah saya keluar dari pabrik sialan itu. Namun perasaan bahagia yang saya rasakan pada Bulan Oktober tahun 2008 itu telah sama sekali hilang tidak berbekas. Saya mengisi hari-hari dengan kebosanan, dan untuk membuat saya tetap waras, maka saya menyibukan diri dengan berbagai kegiatan fisik. Saya merasakan ada yang tidak beres dengan kondisi saya, dan setelah beberapa waktu saya merenung maka saya tidak lagi percaya dengan prinsip bahwa kebebasan dapat menjamin kebahagiaan seseorang.

Manusia membutuhkan pengakuan dari manusia orang lain, dia butuh diakui atau mengakui diri sendiri bahwa dia adalah mahluk yang berguna. Pada dasarnya manusia akan mengalami kebahagiaan yang mendalam ketika dia tahu bahwa dia telah berguna bagi orang lain. Sesungguhnya dia ingin melakukan sesuatu yang berbeda daripada seperti yang dilakukan oleh orang lain, dia ingin melakukan sesuatu yang membanggakan dan yang dapat dikenang oleh dirinya dan orang-orang terdekatnya sebagai kesuksesan yang nyata. Sebebas apapun jika dia tidak melakukan apapun yang bermakna dalam hidupnya, maka dia akan terus menerus dirundung perasaan gelisah, seperti halnya perasaan orang yang tidak bebas.

Kamis, 09 April 2009

Hadiah Yang Ditarik Kembali

Saya pernah menyesali lutut kiri saya yang cacat akibat kecelakaan kerja pada Bulan Februari tahun 2008. Saya adalah seorang pebela diri. Saya ingin menjelaskan makna beladiri bagi saya pribadi yang sesungguhnya… jadi… beladiri tidak hanya sekedar metode atau teknik pembelaan diri bagi saya, namun lebih dari itu, beladiri adalah hidup saya, roh dari kehidupan saya. Tanpa beladiri, saya tidak mungkin menjadi pribadi Bayu Sandi seperti yang sekarang ini. Ketika kecelakaan kerja merenggut kesehatan lutut kiri saya, maka kecelakaan itu telah merenggut beladiri dari kehidupan saya.

Sebenarnya kecelakaan itu bukan murni kecelakaan kerja, hanya sedikit yang mengetahui ini, hanya beberapa dari teman-teman Sido Bangun saya. Setelah satu tahun lebih berlalu, saya pikir tidak ada gunanya saya menyembunyikan ini dan berpura-pura bahwa ini bukan suatu kesalahan saya.

Adalah kebiasaan bagi saya untuk terjun sambil melakukan akrobat dari suatu ketinggian yang jarang sekali orang lain berani melakukannya. Sebelumnya saya selalu berhasil melakukannya hingga pada suatu pagi berat badan saya mencelakai saya. Saya terjun dari ketinggian sekitar tiga meter setengah, untuk melakukan Koproll di atas lantai beton. Benar kata orang bahwa segala sesuatu memiliki batasan yang apabila dilanggar akan menimbulkan malapetaka. Lutut saya tidak dapat menyangga beban tumbukan atas berat badan 86 kg yang ditumpukan kepadanya. Beberapa saat setelah saya sadar dari shock, saya melihat lutut kiri saya tampak bengkok mengerikan…

Sakitnya luar biasa, itu adalah rasa sakit yang paling sakit yang pernah saya rasakan dalam 25 tahun kehidupan saya waktu itu. Namun rasa sakit itu tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan rasa sedih di hati saya, mengingat saya tidak dapat menjalani kehidupan saya sebagai pebeladiri yang normal lagi. Klinik terapi ataupun terapi tradisional tidak mampu menyembuhkan lutut saya… kini Capoeira adalah sesuatu yang mustahil bagi saya. Cideranya lutut kiri saya adalah merupakan hadiah yang ditarik kembali bagi saya.

Kadang-kadang… atau bahkan seringkali saya berpikir bahwa saya tidak pernah melakukan sesuatu dengan benar di masa lalu sehingga diri saya di masa sekarang tidak dapat menjadi bangga. Saya menyesal sekali, dan berulang-ulang menyalahkan diri saya sendiri. Pertanyaan yang paling sering menghantui diri saya adalah “mengapa dulu saya tidak mampu melakukannya?” atau “jika orang lain bisa, mengapa hanya saya yang tidak bisa?”

Beberapa saat yang lalu saya berhenti terlalu menyalahkan diri saya. Dan saya pikir, apabila saya tidak melakukan kesalahan-kesalahan tersebut, maka tidak mungkin saya memiliki kehidupan seperti yang sekarang saya jalani. Apakah saya bangga dengan kehidupan yang saya jalani sekarang? Tidak juga, namun saya juga tidak terlalu menyesal dengan perjalanan hidup ini, karena rangkaian peristiwa yang terjadi di dalam kehidupan saya ini telah menghadiahi saya dengan pelajaran-pelajaran penting yang membuat saya bertambah dewasa. Dan itu adalah segalanya bagi saya.

Pelajaran penting bagi saya “sulit sekali menghormati diri sendiri, tetapi ketika seseorang bisa melakukannya, maka hal itu bisa saja sangat menghibur”

Tidak Profesional

Beberapa hari yang lalu saya harus mengerjakan suatu tugas untuk yang diberikan oleh seseorang yang saya hormati. Tetapi tugas itu tidak dapat saya kerjakan sendirian karena tugas yang diberikan kepada saya adalah bukan semacam tugas yang sepenuhnya saya kuasai. Lantas mengapa saya lakukan? Karena saya ingin mengetahui dan ingin menguji diri sendiri seberapa kuat dan seberapa jauh saya dapat diandalkan jika seseorang memberi saya tugas. Jadi seorang teman dekat, seorang profesional yang bisa saya percaya bergabung menjadi partner kerja dalam tugas yang diberikan kepada saya.

Hari pertama kami mengerjakan tugas kami tidak mengalami sedikitpun halangan, namun menjelang hari kedua mulai muncul permasalahan. Permasalahan pertama itu mulai muncul saat kami harus berhubungan dengan orang lain untuk menyelesaikan sebagian tugas yang tidak mungkin bisa kami selesaikan sendirian. Orang yang kami hubungin tersebut terlalu mahal dalam memberikan tarif kepada jasa yang akan dia berikan.

Permasalahan yang kedua muncul karena partner kerja saya tidak dapat menemukan orang lain atau penyedia jasa lain yang lebih murah. Ternyata permasalahan kedua ini menimbulkan reaksi berantai kepada permasalahan lain yang lebih serius yang berpotensi bahwa kami akan kehilangan integritas kami di mata orang lain. Berbagai masalah itu antara lain mulai dari kami tidak dapat menyelesaikan tepat waktu, hingga berkurangnya kualitas kerjaan kami karena kami harus mengerjakan sendiri secara terburu-buru.

Suatu saat saya menyediakan waktu untuk mengevaluasi segala sesuatu yang menjadi penyebab permasalahan saya tersebut. Dan akhirnya saya menemukan bahwa yang menjadi permasalahan terbesar saya adalah ketidak profesionalan partner kerja saya. Dan saya telah salah menilai dia dari banyaknya aset, banyaknya mesin-mesin industri yang dia miliki, dan dari lamanya dia berkecimpung di dunia itu. Dia boleh memiliki banyak hal, namun dia tidak memiliki satu hal yang penting… yaitu mental seorang wiraswastawan.

Karena tidak memiliki mental seorang wiraswastawan, maka dia cenderung gagal dalam menumbuhkan minat untuk mengurusi usahanya. Dari situ dia ogah-ogahan memikirkan rencana kedepan untuk usahanya, ogah memikirkan siapa yang harus dia hubungi untuk diajak bekerja sama dalam memajukan usaha, bahkan dia ogah-ogahan memasuki ruang kerjanya sendiri.

Jadinya amburadul dan ngothok alias ngomong thok. Sulit sekali bekerja sama dengan orang seperti ini. Ketika masalah datang mengancam, maka bukannya orang seperti ini berpikir keras untuk mencari jalan keluar, namun dia akan lebih cenderung tenggelam dalam kebingungan dan akhirnya berpasrah diri kepada kebuntuan. Akhirnya kerugian ditanggung bersama. Payah.

Dasar mental tempe

Si Lydia

Seorang perempuan menyapaku di Facebook, dia bertanya apakah aku teman dia sewaktu kami bersekolah bersama di SMP Negeri 02 Singosari. Saya sangat pangling melihat wajahnya, karena saya yakin saya tidak punya teman perempuan bule atau mirip bule di SMP saya dulu. Dia mengaku bernama Lydia Dewi, dan tentu saja saya langsung berpikir keras siapakah si Lydia ini.

Saya mencoba mencari tahu tentang si Lydia ini dari photo-photonya yang telah dia upload. Semakin banyak saya melihat foto dia, maka saya semakin yakin bahwa si Lydia ini adalah memang seorang teman SMP yang dulu saya pernah main kerumahnya untuk bermain Sega. Waktu itu saya masih ingat bahwa dia memiliki sebuah stik wireless yang mekanisme-nya pakai infrared.

Oh Tuhan, si Lydia tidak sengaja telah membawa saya ke masa lampau dengan mesin waktu yang bernama facebook. Hingga saya menulis ini saya masih bertanya-tanya bagaimana dia dapat melacak saya, dan bagaimana pula dia bisa tahu bahwa saya dulu bekerja di Sido Bangun? Padahal dia pergi ke Jakarta setelah dia lulus dari SMU. Di malam saya mengetik ini, saya mengalami kesulitan tidur, pikiran saya melayang-layang menuju dunia masa lalu ketika saya masih bersekolah di SMP dulu.

Saya tersadar bahwa sudah cukup lama saya telah lulus dari SMP, dan kini saya menyadari bahwa saya telah menjadi dewasa. Sebenarnya ini cukup tidak mengenakan saya, bahwa saya harus hidup menjadi orang dewasa, memikul segala macam beban serta tanggung jawab sebagai orang dewasa. Saya telah cukup bergembira dengan menjadi anak-anak, meskipun saya sadar betul bahwa masa anak-anak saya tidak bahagia. Namun sebagai anak-anak saya bebas bermimpi dan berkhayal semau-mau saya. Sebagai orang dewasa pun saya mampu bermimpi dan berkhayal, namun saya tidak memiliki banyak waktu untuk itu, saya harus bekerja dan berkarya karena saya ingin tetap hidup.

Memang saya adalah seorang pemimpi, dan sampai kapanpun saya akan tetap menjadi seorang pemimpi. Jiwa saya ada di sana, di dalam dunia mimpi. Saya tidak dapat hidup tanpa bermimpi dan berkhayal tentang dunia bahagia. Badan saya boleh mati, tapi jiwa saya akan tetap hidup di dalam mimpi-mimpi itu…

Rabu, 01 April 2009

Menghargai Orang Lain

Sangat menyedihkan ketika memperhatikan kebanyakan orang yang hanya memperhatikan diri sendiri, sehingga kemampuan mereka untuk peduli dan menghormati menjadi berkurang sama sekali. Saya lahir dan bertumbuh di daerah Malang. Dengan malu saya harus mengatakan bahwa saya tumbuh di lingkungan yang sangat minim memberikan penghargaan kepada orang lain yang tidak dikenal. Saya tidak tahu dengan daerah lain, namun saya hanya memberikan gambaran lugu tentang segala hal yang saya lihat di daerah saya.

Saya pernah melihat seorang nenek tua yang sedang kebingungan karena tidak ada seorang pun yang bersedia memberikan waktunya untuk membantu dia menyeberang jalan. Sekali waktu saya melihat dua orang laki-laki tua penjual bambu batangan yang sempoyongan mendorong gerobak mereka di jalanan menanjak, tidak ada seorangpun yang mau membantu mereka karena hari itu sedang hujan. Kadang-kadang hati manusia telah menjadi sekeras batu, mereka kesulitan menghargai martabat orang lain dan tidak lagi mampu mengenali nilai-nilai perikemanusiaan.

Orang-orang di daerah saya telah lupa dengan cara mengucapkan terimakasih dan menjadi bodoh didalam egoisme konyol dan harga diri yang berlebihan yang membuat mereka kelihatan tidak waras. Suatu saat ketika saya mengisi bensin di pompa bensin, saya menyaksikan dua baris di depan saya sebuah adu mulut yang sangat sengit antara seorang pelanggan dan seorang operator pompa bensin. Masalahnya sangat sepele, operator pompa itu mengisikan bensin terlalu banyak ke motor pelanggannya, sehingga nilai bensin yang diisikan ke dalam tangki motor kelebihan Rp.2500 (Dua ribu lima ratus, bukan dua puluh lima ribu) dari jumlah uang yang diberikan. Operator memohon kepada pelanggan untuk memberikan tambahan uang untuk kelebihan bensin yang diisikan, namun pelanggan menanggapinya dengan ketus dan angkuh. Merasa ditanggapi dengan kasar, maka operator itu juga naik pitam, dan kemudian cekcok tidak terhindarkan lagi.

Saya heran dengan orang-orang yang hanya berdiam diri menyaksikan cekcok itu, tidak ada seorangpun yang mau ikut campur dalam permasalahan sepele itu. melihat ini semua maka saya memberanikan diri untuk tampil membantu, dengan mengurangkan jatah bensin saya senilai Rp.2500. Melihat permasalahan beres, si pelanggan, yaitu bapak tua gendut memalingkan muka dari operator tanpa melihat saya sedetikpun, menghidupkan motornya dan segera menyingkir. Sementara operator dengan wajah marahnya mengisikan BBM ke skuter saya dengan memperhatikan betul-betul angka yang ada di mesin pompa. Setelah selesai dengan saya, maka dia meneruskan pekerjaannya mengisikan BBM ke antrean berikutnya. Saya tertawa geli karena sepanjang ingatan saya tidak satupun diantara mereka berdua yang mengucapkan terimakasih. Itu adalah hal lucu, ketika dua orang manusia mengalami kemerosotan etika hanya karena barang senilai Rp.2500, sehingga mendadak secara tidak sengaja timbul anggapan dari dalam diri saya, bahwa mereka adalah pribadi rapuh yang seketika menjadi tidak waras hanya karena masalah sepele. Konyol… benar-benar konyol… dan lucu.


Kemarin sore saya ada sedikit keperluan di Blimbing untuk menyelesaikan sesuatu. Karena suatu hal saya berhenti di depan Bank BCA, tetapi skuter tidak saya parkir. Di depan saya diparkir sebuah SUV (Sport Utility Vehicle) Ford Everest, yang saya tahu persis bahwa harganya sangat mahal melebihi mobil-mobil kebanyakan. Tiba-tiba di hati saya muncul suatu pemikiran picik yang menduga bahwa pemiliknya adalah seorang laki-laki sombong memakai celana pendek bersandal jepit yang berjalan dengan congkak.

Tidak lama kemudian seorang perempuan cantik berusia pertengahan tigapuluhan keluar dari ATM, merogoh kedalam tasnya dan mengeluarkan uang Rp.5000 untuk diberikan kepada tukang parkir. Dengan murah senyum dia memberikan uang itu kepada tukang parkir kemudian menggerak-gerakan tangannya sedemikian rupa seakan-akan dia tidak menginginkan kembalian dari uangnya tersebut. Saya melihat tukang parkir itu membungkuk senang pada wanita cantik itu, dan saya tidak menyangka bahwa wanita itu balas membungkuk dengan tersenyum ramah kemudian masuk kedalam Ford Everest tersebut dan pergi.

Jarang sekali saya melihat pemandangan seperti ini. Di sebuah masyarakat yang dipenuhi dengan orang-orang sombong yang sok bermartabat, terdapat seorang wanita kaya, pemurah dan rendah hati. Mungkin ada yang menyepelekan apa yang dilakukan oleh wanita cantik tadi dengan berkata “apa sih susahnya membungkuk ke tukang parkir?”. Tapi ada berapa banyak dari kita yang dapat berbuat seperti itu? berapa banyak diantara kita yang mau menundukan ego sedemikian rupa sehingga kita mau membungkuk pada seorang tukang parkir, lebih-lebih jika kita berada pada posisi wanita itu.

Wanita itu telah menjadi guru kehidupan sesaat bagi saya, dan secara tidak sengaja telah mengajarkan kepada saya bahwa kita manusia adalah memiliki derajat yang sama, dan kita tidak boleh menyombongkan dengan apa yang kita miliki. Mungkin sudah berpuluh-puluh kali saya mendengar atau membaca filosofi seperti itu, namun hanya wanita ini saja yang telah membuat saya bisa memahami secara mendalam arti kesetaraan dan persamaan derajat manusia.

Mungkin penting sekali bagi kita untuk selalu mengucapkan terimakasih. Dengan mengucapkan terima kasih berarti kita telah mengungkapkan penghargaan kepada orang yang telah melakukan sesuatu yang bermanfaat kepada kita. Dan yang kedua adalah penting untuk menganggap orang lain sama pentingnya dengan kita, sehingga mempengaruhi perilaku kita sekaligus mempengaruhi perilaku orang lain untuk berlaku secara bersahabat. Maka dengan demikian kita turut berperan aktif dalam penyebaran virus cinta kasih. Semoga…