Kamis, 23 April 2009

Masa Depan? Kiss My Ass...

Hari ini saya bersepeda ke Desa Kreweh, ini adalah sebuah dusun sederhana yang terletak di pedalaman Singosari. Untuk mencapai dusun ini kita harus melawati sebuah jalan aspal yang menanjak yang membelah sawah seluas mata memandang. Setiap orang meskipun dia adalah seorang atlit sepeda handal, saya yakin kalau dia bersepeda ke dusun ini pasti dia akan ngos-ngos an.

Saya sudah berpuluh-puluh kali mengunjungi dusun ini dengan bersepeda pancal, namun suasana kali ini tidak seperti suasana lainnya. Perasaan saya menjadi sedemikian bahagia sehingga hilang sudah rasa-rasa penat dan capek karena telah mengayuh sepedah melewati jalan yang menanjak. Saya sadar bahwa perasaan bahagia ini muncul karena saya hadir pada masa kini dan menghargainya sebaik mungkin.

Sebelumnya saya selalu menghawatirkan tentang masa depan… sebanyak apapun ajaran bijak dari Budha dan Krishna yang saya baca untuk menghargai kekinian, semua itu hanya menyentuh kulit, tidak pernah menggerakan hati saya untuk mengejawantahkan dalam kehidupan saya. Pada kenyataannya saya hidup dalam bayang-bayang akan masa depan yang serba tidak pasti. Saya memiliki mimpi-mimpi yang sukar sekali untuk diwujudkan. Saya khawatir mimpi-mimpi itu tidak pernah tercapai.

Satu bulan sudah saya mengurung diri di rumah untuk membiasakan diri saya menghadapi realita kehidupan saya yang sesungguhnya. Saya juga belajar untuk tidak selalu bergantung pada orang lain dalam memperoleh suatu kebahagiaan. Dan setelah setiap hari bergulat dengan kebosanan yang teramat pekat, akhirnya saya mendapati bahwa saya tidak menderita ketakutan lagi, namun saya juga tidak berbahagia. Pada intinya saya hanya merasa hambar, namun ini semua lebih baik dari pada memiliki segudang impian namun selalu dibayang-bayangi oleh perasaan takut dan khawatir.

Harus saya akui… impian-impian itu telah menguap sebagian besar. Sakit sekali rasanya ketika impian itu menguap, hilang sudah semangat untuk hidup lebih baik. Meskipun itu tidak berarti bahwa saya membiarkan diri saya dalam keadaan diam berpangku tangan menerima semua keadaan… kaki saya tetap berlari, tangan saya tetap bekerja, namun pekerjaan itu saya lakukan tanpa hati.

Membutuhkan waktu lama untuk dapat menerima suasana hati yang seperti itu… malah kenyataannya saya mungkin tidak ingin menerima kondisi dimana saya bisa mentoleransi suasana hati yang seperti itu. Namun kenyataan berkata lain, hati saya telah kalah, dia telah menghambar dan hanya menginginkan mengurusi hal-hal dalam jangka pendek saja. Saya malu mengakuinya, tapi sepertinya saya telah putus asa.

Sore ini saya memutuskan untuk bersepeda dengan tujuan acak. Setelah mengayuh sepeda beberapa kilometer dari rumah, saya berhenti di dekat sebuah pematang sawah untuk sekedar mengambil napas. Dengan napas yang ngos-ngosan seperti itu saya menoleh ke kanan dan ke kiri melihat sawah dan kebun tebu sejauh mata memandang. Untuk sejenak tidak ada sesuatu yang menarik dari pemandangan-pemandangan itu karena saya sudah melihat mereka berkali-kali. Namun setelah berapa saat mulai muncul keindahan-keindahan dari pemandangan itu. Malahan saya merasa damai dan nyaman… saya bahagia. Saya tidak dapat bayangkan bahwa perasaan ini dapat terjadi satu bulan yang lalu, karena saya selalu berpikir bahwa Indonesia selalu lebih jelek dari pada negeri-negeri lain. Pikiran saya selalu memikirkan luar negeri sehingga saya tidak dapat mengenali keindahan kampung halaman saya.

Masa depan? Kiss my ass…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar