Sekitar jam sepuluh malam, seorang pemuda yang terkenal sebagai juara nasional Karate kelihatan sedang keluar dari GOR tempat dia berlatih beladiri. Dia kelihatan sangat letih dan putus asa. Matanya sayu, gerakannya malas-malasan seperti orang yang baru saja bangun tidur. Seorang tukang becak berumur enam puluh-an berbadan kerempeng memperhatikan dia dari kejauhan. Lalu tidak lama kemudian tukang becak itu mendekati sang juara nasional ketika dia sedang minum teh di warung kopi terdekat.
Tukang becak : Mbok Yem, kopinya satu…
Mbok Yem : Iya.
Tukang becak : habis latihan karate ya mas…?
Karateka : (terbuyar dari lamunannya) eh.. saya, betul pak.. eh kok tahu?
Tukang becak : Lha punggung jaket anda itu… ada tulisannya Karate, betul itu Karate?
Karateka : Oh iya, saya dapat diberi oleh pelatih.
Tukang becak : Dan kemarin saya iseng baca surat kabar bekas tertanggal satu minggu yang lalu. Di situ diberitakan bahwa sampeyan menang kejuaraan nasional kan?
Karateka : Wah saya merasa terhormat, bapak bisa mengenali saya (si Karateka mulai menampakan senyum)
Tukang becak : Sama-sama, saya juga merasa terhormat. Jarang-jarang orang bisa berbicara langsung dengan sang juara nasional yang sedang gundah dan cemberut.
Karateka : Hahaha… bapak terlalu melebihkan…! eh maksud saya, hmmm… memang sekarang suasana hati saya tidak terlalu bagus, yah… ada sedikit masalah.
Tukang becak : Dan setiap masalah adalah kangker, jika dibiarkan lama-lama akarnya akan menjalar kemana-mana. Masalah yang menemui jalan buntu bisa diibaratkan selokan buntu, mampet. Setiap selokan yang buntu dan mampet selalu mengeluarkan bau yang tidak sedap, setiap orang didekatnya pasti tahu bahwa selokan itu sedang mampet hanya dengan cara mencium baunya. Hehehe…
Karateka : Hehehe… hanya masalah sepele kok pak.
Tukang becak : Hingga Mbok Yem bisa mencium baunya…, ya Mbok ya..?
Mbok Yem : (tersenyum) dasar Pak Bagyo…
Karateka : Jadi nama anda Pak Bagyo ya? Bapak suka bercanda, saya terhibur, terimakasih pak.
Tukang becak : Itulah kenapa ibu saya memberikan nama kepada saya Soebagio, artinya bahagia. Saya memang senang dengan guyonan. Dalam keseriusan kita terpisah dalam urusan kita sendiri-sendiri, dan warna kita berbeda-beda sesuai dengan kesibukan kita. Dalam guyon kita bersatu, kita serius pada satu hal yaitu lawakan, tujuannya hanya satu, yaitu saling berbagi kebahagiaan. Dalam guyon kita sama derajat, satu warna… hidup guyon… bukan begitu mas? Hehehe…
Karateka : (manggut-manggut)
Tukang becak : Tetapi walaupun dengan guyon, bukan berarti kita tidak bisa serius dengan masalah kita, dan kita harus membereskan masalah kita. Ada dua pilihan cara membereskan masalah. Yang pertama adalah memikirkan dan mengerjakan sendiri, dan yang kedua adalah membuka diri terhadap segala ide dan kemungkinan bantuan dari orang lain.
Karateka : (manggut-manggut saja…)
Tukang becak : Baiklah, kopi saya sudah habis, saya mau mangkal dulu, sampai ketemu… eee…
Karateka : Daniel… Pak Bagio, nama saya Daniel Hartono.
Tukang becak : Oke kalau gitu, sampai ketemu Mas Daniel…
Karateka : Sebentar-sebentar Pak Bagio…(buru-buru menghabiskan tehnya), saya mau diantar…
Tukang becak : Bukannya Mas Daniel tadi bawa mobil?
Karateka : Kita bicara diluar saja Pak…
Daniel dan Pak Bagyo keluar dari warung, berjalan pelan menuju becak Pak Bagyo yang dia parkir dibawah pohon ceri. Daniel mengutarakan maksudnya bahwa dia ingin diantar Pak Bagyo untuk jalan-jalan memutari beberapa blok di pinggiran kota Surabaya, sebelum dia sampai ke rumahnya, sekedar untuk mengusir gundah. Maka Pak Bagio pun mengayuh pelan becaknya. Di perjalanan mereka ngobrol lagi.
Pak Bagio : Mobilnya nanti bagaimana Mas Daniel?
Daniel : Oh tidak apa-apa, tidak apa-apa… biar saya nanti suruh orang untuk ambil mobil saya. Ehh… saya… bisakah saya mendengar lagi cerita tentang membuka diri terhadap… terhadap… tadi Bapak ngomong apa ya saya lupa?
Pak Bagyo : Tentang kesediaan untuk membuka diri kepada ide dan bantuan dari orang lain, yang itu?
Daniel : Ya…ya… yang itu pak, saya ingin mendengarnya… mohon diceritakan.
Pak Bagyo : Yah… seringkali keadaan memaksa kita untuk mendengarkan orang lain agar kita dapat keluar dari permasalahan kita yang terasa sangat pelik. Namun kadang-kadang ego kita seringkali terusik atau merasa digurui jika ide itu dikemukakan oleh orang lain. Maka orangakan cenderung diam, berpura tidak terjadi apapun pada dirinya. Dia cenderung lebih suka kesulitan dalam menyelesaikan masalahnya sendiri daripada meminta bantuan orang lain, karena dia takut dibilang lemah. Kadang-kadang sikap seperti itu tidak akan merubah apapun, kecuali hanya meninggikan egonya saja.
Daniel : Saya juga sebenarnya ingin membicarakan masalah saya dengan orang lain, namun saya takut orang lain tidak mau mendengarkan saya. Bisakah saya menceritakan permasalahan saya pada Pak Bagyo? Berkenankah bapak mendengarkan cerita saya?
Pak Bagio : Saya punya banyak waktu untuk mendengarkan apapun dari siapapun. Sudah sejak lama saya belajar mendengarkan, lagian saya merasa terhormat untuk mendengarkan kisah dari seorang juara nasional.
Daniel : Ah sudahlah pak… tadi selesai latihan beladiri saya didatangi oleh dua orang, dan memang kami sudah janjian. Kami sepakat untuk adu sparing bersama. Satu orang adalah teman saya, dan satunya lagi orang baru yang sebelumnya saya hanya bisa dengar suaranya di telephon. (Sambil menoleh kebelakang, melihat ke wajah Pak Bagio)
Pak Bagio : Saya mendengarkan kok Mas Daniel… teruskan saja, teruskan…
Daniel : Orang baru itu, wajahnya sungguh menakutkan, sangat mengintimidasi... yah dia bukan orang jahat saya tahu, tapi wajahnya sangat menakutkan bagi saya. Dan saya heran kenapa tenaga saya luar biasa terkuras ketika saya bersiap untuk menghadapi dia, tenaga saya benar-benar habis. Apakah dia menggunakan guna-gu…
Pak Bagio : Apakah Mas Daniel kalah!?
Daniel : yaya… saya kalah telak. Celakanya lagi saya hampir tidak memberikan perlawanan sama sekali.
Pak Bagio : Dan Mas Daniel merasa bahwa ada yang aneh dengan adu tanding itu, seperti ada yang tidak beres dengan itu?
Daniel : Benar, ya ya benar, apakah dia memakai guna-guna!?
Pak Bagio : Bisakah saya bertanya?
Daniel : Tentu saja… tentu, kenapa bapak ini, jangan terlalu formil seperti itulah?
Pak Bagio : Tidak-tidak, saya hanya tidak mau mas Daniel merasa digurui oleh saya. Jadi, apakah hubungannya Beladiri dengan konflik?
Daniel : Memangnya kenapa?
Pak Bagio : (diam saja)
Daniel : Oke… mudah sekali, beladiri adalah wadah bagi kita untuk berlatih agar kita bisa lebih siap di medan konflik. Bukan begitu?
Pak Bagio : Bukan…. Saya pikir hubungan antara beladiri dan konflik adalah… tidak ada.
Daniel : Tidak ada?
Pak Bagyo : Sama sekali tidak ada…
Daniel : Hahaha…hehehe… ehm… bagaimana mungkin? Pasti Bapak sedang bercanda…
Pak Bagyo : Setiap pebela diri, mereka menganggap bahwa dirinya sedikit lebih baik daripada orang awam dalam berkelahi. Dan mereka memotivasi diri mereka sendiri untuk tetap berlatih agar mereka lebih unggul daripada orang kebanyakan. Tapi dalam hati kecil mereka itu, mereka tidak benar-benar pernah merasa yakin bahwa mereka dapat selamat dari konflik yang sebenarnya dengan mengandalkan kemampuan teknik beladiri mereka. Kadang-kadang akan baik jika kita melihat baik-baik lingkungan sekeliling kita dan melihatnya secara objektif. Orang-orang kita tidak pernah berkelahi tanpa membekali diri mereka dengan senjata tajam. Nah jangankan berkelahi melawan orang gila bersenjata tajam, melihat mereka menggenggam senjata tajam saja kita sudah miris.
Daniel : Lantas…?
Pak Bagyo : Para pebeladiri tidak pernah tahu apakah mereka akan menemui suatu konflik atau tidak dikemudian hari, namun walaupun begitu mereka akan tetap berlatih beladiri. Tidak ada orang yang pernah tahu sendiri bahwa mereka akan mengalami neraka atau tidak dikemudian hari, mereka tidak pernah tahu sendiri keberadaan neraka, namun walaupun begitu mereka akan tetap berdoa. Jadi dalam mind setting mereka masing-masing, pebela diri adalah seorang yang mengimani beladirinya, dan orang yang lain mengimani kepercayaannya.
Daniel : Saya pikir itu terlalu berlebihan.
Pak Bagyo : Kebanyakan orang, mereka berlatih beladiri tangan kosong karena mereka percaya bahwa beladiri tangan kosong dapat berguna pada saat-saat darurat. Padahal jika kita mau melihat kenyataan di lapangan, maka kita akan tahu bahwa beladiri tangan kosong tidak akan berguna pada saat-saat darurat, sama sekali tidak berguna. Cobalah setiap hari berlatih metode-metode beladiri menghadapi pisau, dan yakinkan bahwa anda sangat menguasai metode itu dalam simulase. Tetapi walaupun begitu, anda tetap saja tidak boleh mempraktekan metode itu dalam kehidupan nyata, dengan berkeras hati melawan orang gila bersenjata belati tanpa membekali diri dengan senjata apapun dan tanpa ditemani siapapun, hanya mengandalkan beladiri saja. Konyol itu namanya.
Daniel : Sudah seharusnya kita yakin dengan kemampuan beladiri kita, saya yakin itu harus!!!
Pak Bagyo: Dan mungkin seharusnya saya berhenti bicara…(sambil tersenyum ramah)
Daniel : Ohh… ehh… ayolah… maafkan saya, mohon diteruskan saja Pak Bagyo, jangan pedulikan saya. Saya hanya lupa bahwa saya juga harus membuka diri pada ide dari orang lain. (sambil tersenyum ramah pula)
Pak Bagyo : Dalam suatu konflik sungguhan yang sifatnya sangat genting, seseorang hanya berpikir untuk mencelakai musuhnya secara cepat. Secara naluriah dia tidak akan berpikir akan menggunakan teknik atau metoda tertentu untuk mencelakai lawannya. Sebaliknya secara naluriah dia akan berusaha memanfaatkan perkakas seadanya untuk membuat konflik cepat selesai.
Daniel : Tapi itu curang, dan tidak adil.
Pak Bagyo : Ya ya, saya juga benci itu, tapi kenyataannya memang seperti itu… apa boleh buat. Jadi jika saya berada pada kondisi darurat, jika seseorang hendak mencelakai saya, maka pada saat itu juga akan timbul dua jenis pikiran dalam kepala saya. Pertama, saya akan berteriak minta tolong… dan yang kedua saya akan mengambil kursi dan akan saya pukulkan secara membabi buta pada kepala orang yang akan mencelakai saya. Tidak ada lagi teknik atau metode membeladiri lagi.
Daniel : Waduh… kalau memang kenyataannya seperti itu, lantas mengapa dan untuk apa beladiri itu diciptakan?
Pak Bagyo : Nanti dulu… saya hanya membicarakan beladiri tangan kosong, bukan beladiri bersenjata. Kebanyakan beladiri-beladiri kuno adalah beladiri-beladiri bersenjata. Di masa lalu ketika hukum tidak dapat di andalkan untuk menjamin keselamatan warga negara, maka warga negara bisa saja kemana-mana membawa senjata tajam. Ini bukan omong kosong, beberapa ratus tahun yang lalu pada abad 16 kebawah, banyak orang-orang eropa menenteng pedang anggar. Di Jepang sebelum pemerintahan Meiji, warga negara boleh kemana-mana membawa pedang. Di beberapa tempat di pulau Madura, beberapa orang masih kelihatan membawa celurit.
Daniel : Tapi bukankah itu melanggar hukum?
Pak Bagyo : Kalau sekarang iya mas Daniel, hukum dan perangkatnya sudah agak kuat hehehe… agak ya. Karena jika kita yang di Surabaya ini kemana-mana menenteng senjata tajam, lalu kelihatan polisi, pasti ditangkap. Mangkanya sekarang ini beladiri bersenjata kurang digemari oleh dunia. Dengan adanya beladiri praktis yang dikembangkan oleh pihak militer, maka beladiri bersenjata semakin kehilangan pamornya. Akan lebih banyak orang yang belajar Israeli Krav Maga dari pada orang belajar Shaolin Kungfu. Selain sudah sangat ketinggalan jaman, kungfu juga tidak praktis, dibutuhkan banyak waktu, tenaga dan biaya untuk mempelajarinya.
Daniel : Wah bukankah itu terlalu merendahkan?
Pak Bagyo : Merendahkan? Oh tidak-tidak, lihatlah kenyataannya di lapangan dan bersikaplah objektif mas Daniel. Meskipun diberitakan sebagai beladiri ampuh sepanjang masa… tetapi tidak ada satu petarung kungfu pun yang pernah lolos menjadi juara dalam kompetisi perkelahian bebas full body contact beladiri tangan kosong… tidak ada satupun. Chi atau Ki atau apalah… bukankah itu omong kosong belaka?
Daniel : (diam seribu bahasa, sepertinya sedang tersinggung)
Pak Bagyo : Kenyataan memang pahit dan memuakan… tetapi kenyataan selalu jujur. Ketika hukum mulai bisa ditegakan dengan benar, maka tatanan kemasyarakatan mulai berubah. orang dilarang membawa senjata tajam. Dan kemudian orang mulai berpikir bahwa mereka tidak perlu repot-repot belajar beladiri bersenjata apabila mereka tahu bahwa dalam kehidupan nyata mereka dilarang menggunakannya. Selain itu perkembangan senjata api genggam juga turut menyingkirkan hegemoni bahwa senjata tajam adalah nomor satu. Jadi siapapun mereka yang sedang mempelajari Kendo atau Kenjutsu, pastilah mereka adalah orang-orang fanatik atau orang yang hobi dengan senjata tajam…
Daniel : Termasuk Karate?
Pak Bagyo : Saya hanya mau bilang, bahwa orang akan merasa damai jika dia menjadi dirinya sendiri. Bagi seorang Karateka mungkin dia akan merasa damai dan senang jika dia sedang berlatih beladirinya itu. Tapi saya akan tetap mengatakan bahwa tidak ada hubungan langsung antara beladiri dengan konflik. Beladiri bukanlah hal yang paling utama dalam mekanisme suatu konflik.
Daniel : Oh ya… saya baru mendengar ini… sungguhan! Apakah faktor utamanya Pak Bagyo.
Pak Bagyo : Mental…! Ada beberapa orang yang disebut dengan warior… mereka itu adalah tipe orang yang dilahirkan dalam keadaan berani. Mereka lebih unggul dalam tekad, bahkan kadang-kadang mereka terkesan kejam dan kesan itu muncul dari wajahnya. Tidak peduli sejago apapun anda dalam menguasai teknik beladiri, jangan harap anda bisa menang dengan mudah melawan orang seperti ini. namun tidak berarti warior adalah orang yang selalu kejam atau jahat… sama sekali tidak. Hanya saja kemampuan untuk tetap tenangnya dalam menghadapi suatu konflik tidak banyak dimiliki oleh orang lain, mereka tidak takut apapun.
Daniel : Seperti lawan sparring saya?
Pak Bagyo : Mungkin… bisa jadi.
Daniel : Ya ya saya yakin bahwa dia adalah seorang warior. Meskipun orangnya sopan dan cara bicaranya menyenangkan, namun tatapan matanya sungguh menakutkan. Dalam berkelahi dia terkesan cukup tenang namun wajahnya sungguh kelihatan mengancam keselamatan saya. Entah kenapa timbul pikiran semacam itu, tenaga saya hampir habis, kaki saya serasa lunglai… mungkin waktu itu saya sedang sangat ketakutan.
Pak Bagyo : Padahal waktu itu lawan anda tidak membawa satupun senjata tajam… (dengan tatapan licik)
Daniel : Hahaha….
Pak Bagyo : Hahaha…
Daniel : Dunia tidak selalu adil… terimalah segala sesuatu yang harus kamu terima, dan lakukan segala sesuatu yang bisa kamu lakukan untuk merubah nasib anda.
Pak Bagyo : Wah suatu pelajaran yang sangat berharga bagi saya. Kadang-kadang kita harus dapat menerima kekalahan dengan berlapang dada, karena kekalahan adalah sebuah siraman air dingin di pagi hari ketika kita sedang nyenyak terlelap dibuai mimpi kemenangan. Siraman air dingin itu membangunkan kita dari mimpi, membuat kita sadar dan lebih mawas diri serta bijaksana dalam menjalani kehidupan ini.
Daniel : Bisakah bapak mengatakan kepada saya bagaimana bapak bisa tahu banyak hal tentang beladiri dan konflik?
Pak Bagyo : Oke bisa. Dulu pada tahun 1967-1968, saya mengikuti Juragan saya yang punya bengkel besi di Dukuh Kupang mengungsi ke Amerika. Beberapa hari setelah kami menginjakan kaki di Tennesee, Juragan saya itu meninggal karena serangan jantung. Karena saya sendirian disana tanpa memiliki bekal bahasa Inggris yang bagus maka saya ditolak bekerja di berbagai tempat. Namun untunglah ada seorang saudagar Turki yang kaya, beliau juga jago gulat Turki yang membolehkan saya bekerja di tempatnya sebagai tukang kebun. Rumahnya yang luas seringkali menjadi arena pertandingan perkelahian jalanan underground. Dalam suatu kesempatan saya diiming-imingi sejumlah uang jika saya mau bertanding dalam perkelahian underground itu. Karena tertarik dengan uangnya maka saya terjun dalam pertandingan itu dan sering menang. Padahal saya tidak memiliki basic beladiri apapun, saya hanya mengandalkan otot belaka.
Daniel : Lalu apa yang terjadi?
Pak Bagyo : Ternyata orang Turki itu memiliki beberapa bisnis di beberapa kota, diantaranya adalah di Cape Town, Hongkong, Madrid, Budapest , Rio de Janeiro, Tokyo dan Moscow. Karena saya sering menang dalam pertandingan maka beliau membawa saya kemanapun beliau pergi. Dan di setiap kota dia memiliki akses ke perkelahian underground, dan dia selalu melibatkan saya di sana. Seiring berjalannya waktu saya bertemu dengan banyak petarung dari berbagai macam disiplin… Capoeira, Karate, Tae Kwon Do, Jiu-Jitsu, Judo, sambo, Wrestling, Vale Tudo, Tang So Do, Kalari, Kuialua, dan banyak macam lainnya. Mereka banyak memberikan pelajaran dan pengetahuan tentang beladiri kepada saya.
Daniel : Apakah bapak memperoleh banyak penghasilan dari situ?
Pak Bagyo : Ya tidak banyak-banyak amat, tapi cukuplah.
Daniel : Lalu kenapa… hmm… maksud saya…
Pak Bagyo : kenapa saya jadi tukang becak? Mas Daniel mau bertanya demikian?
Daniel : (mengangkat bahu)
Pak Bagyo : Pada tahun 1984 saya dideportasi oleh pemerintah Prancis, padahal waktu itu saya benar-benar bangkrut dan menjadi tukang cuci piring di pinggiran kota Paris. Orang Turki yang saya ikuti tadi ditembak jantungnya oleh seorang yang tidak dikenal.
Daniel : Apakah bapak pernah berusaha kembali bekerja keluar negeri?
Pak Bagyo : Ya menjadi tenaga kerja gelap ke Australia, namun tertangkap dan dideportasi lagi. Dan sejak saat itu saya tidak pernah mujur dalam bekerja apapun, tidak ada pekerjaan yang cocok bagi saya selain tukang becak. Tidak ada pertarungan underground di Indonesia waktu itu, dan sekarang usia saya sudah tua. Dulu beberapa kali saya pernah menjadi seorang kepala sekuriti disebuah pabrik, namun karena kondisi saya yang semakin lemah karena TBC yang tidak kunjung sembuh, akhirnya saya tidak terpakai lagi. Sekarang saya hanya mau hidup tenang sajalah.
Daniel : Tapi bukankah penyakit TBC bapak akan bertambah parah kalau bapak berprofesi menjadi tukang becak?
Pak Bagyo : Sebenarnya penyakit TBC saya sudah sembuh… dan saya tidak bekerja sebagai tukang becak.
Daniel : Lho… bapak bukan seorang tukang becak? Lantas ini becak siapa?
Pak Bagyo : Ini becak saya, sekarang dipakai oleh tetangga saya, tadi kebetulan karena Mas Daniel minta diantar, maka saya pinjam dulu becaknya sebentar kepada anak buah saya. Dulu becak ini saya pakai untuk berjuang di pertengahan tahun 80-an ketika saya dalam keadaan bangkrut sebelum bekerja di Pabrik. Sekarang saya hidup dari sebuah toko kelontong yang dijalankan oleh istri saya.
Daniel : Hah… kenapa bapak tidak bilang…!? Saya pikir bapak seorang tukang becak karena bapak memakai kaos bertuliskan paguyuban becak Dukuh Kupang.
Pak Bagyo : Sudahlah tenang saja Mas Daniel, saya merasa terhormat berbicara dan mengantarkan seorang juara nasional pulang kerumahnya.
Daniel : Dan saya juga merasa terhormat telah diantar oleh tukang becak paling bijaksana dan paling berpengetahuan di dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar