Apabila saya ditanya tentang seberapa pentingkah nilai suatu persahabatan atau persaudaraan? Maka sejujurnya saya akan menjawab bahwa persahabatan dan persaudaraan adalah segalanya. Persaudaraan dan persahabatan adalah lebih berharga dari benda apapun yang saya miliki. Keberadaan sahabat dan saudara menurut saya adalah lebih penting daripada pribadi saya sendiri. Dalam suatu keadaan mendesak tertentu, saya cenderung mementingkan keselamatan sahabat dan saudara saya daripada keselamatan diri saya sendiri.
Mungkin kebanyakan orang akan menganggap saya tolol, dan setelah saya pikir-pikir… sepertinya mereka memang benar. Buat apa sih repot-repot pakai berkorban kepada orang lain segala, kan belum tentu mereka akan membalas budi baik kita? Nah saya akan sulit sekali menjawab pertanyaan seperti itu. Namun bagi saya, kerelaan berkorban kepada sahabat dan saudara adalah mungkin satu-satunya hal mulia yang bisa saya lakukan. Saya adalah orang yang seringkali dipenuhi dengan kekecewaan karena saya telah melakukan banyak sekali perbuatan yang memalukan, hidup saya di masa lalu dipenuhi dengan kegagalan pertemanan karena egoisme. Ketika saya mengorbankan kepentingan saya untuk sahabat dan saudara, maka rasa malu dna kecewa itu hilang. Kerelaan untuk memberikan ke-ikhlas-an kepada saudara dan sahabat adalah air penyejuk bagi hati saya yang haus merindukan pertemanan abadi.
Tetapi tetap saja bahwa saya masih akan dianggap tolol, dan saya yakin banyak sekali yang akan mengatakan itu kepada saya. Ya ya baiklah… itulah saya, memang saya orang yang tolol sekali. Namun ke-ikhlas-an untuk memberikan pengorbanan adalah suatu panggilan hati, yang merupakan perbuatan mulia jika saya mengimplementasikan dalam suatu perbuatan. Jangan ditanya mengapa harus demikian, karena saya sendiri tidak tahu jawabannya (saya kan manusia tolol). Jawaban gampangnya mungkin seperti berikut; ketika saya mempersembahkan suatu ke-ikhlas-an bagi sahabat dan saudara saya, maka saya selalu merasakan bahwa hati saya menjadi jauh lebih baik. Ini berarti bahwa saya telah mengalahkan Ego saya yang setiap saat minta selalu di manjakan dan disanjung-sanjung
Dalam praktik pertemanan, memang saya merasakan adanya suatu kontra yang amat kentara antara ego dengan ke-ikhlas-an. Ego selalu ingin dimanjakan, dan disanjung-sanjung, yang membuat kita akan membuat kita sombong. Dalam pembicaraan, egoisme membuat seorang sahabat menyakiti sahabatnya, dengan saling bersikukuh atas nama kebenaran. Saya juga bermasalah dengan ego yang tinggi dan terus meninggi, yang membuat saya tidak mau mengalah terhadap orang dekat saya. Saya menganggap itu sebagai sesuatu yang berlebihan dan tidak beradab, namun saya tidak dapat mengendalikan itu, saya benar-benar dikontrol oleh emosi. Ada yang tidak beres dengan diri saya.
Hingga suatu ketika saya dipermalukan oleh tindakan saya sendiri yang akhirnya membuat perilaku saya berubah sama sekali. Dulu saya telah meninggalkan seorang sahabat dalam kesulitan besar. Padahal dia sudah memohon untuk dibantu, namun egoisme telah memaksa saya untuk masuk kedalam kebohongan, sehingga akhirnya dia dapat memaklumi saya bahwa saya tidak dapat membantu dirinya. Pada saat itu memang raga saya termanjakan karena saya tidak harus melakukan apapun. Akan tetapi tidak berapa lama kemudian kesadaran pun mulai muncul… kesadaran bahwa perikemanusiaan telah lari dari diri saya membuat saya. Kenapa sih saya kok tidak peka, dimana tanggung jawab dan loyalitas saya kepada kawan saya?
Jadi pada intinya saya telah menempatkan ego saya begitu tinggi, sehingga pribadi orang lain menjadi tidak lagi begitu penting jika dibandingkan dengan ego saya, sekalipun pribadi itu adalah pribadi kawan saya. Saya tahu itu adalah hal yang bodoh, dan untuk menginsafi sikap yang bodoh dan egois seperti itu maka saya mencoba semacam perilaku rela berkorban, artinya ketika saya bersama sahabat saya, dalam banyak kesempatan saya mengedepankan ke-ikhlas-an saya untuk membantu dan untuk mengalah.
Hasilnya sungguh luar biasa. Karena ada dorongan dari dalam diri untuk mengalah, maka rasa jengkel pun dapat berkurang banyak. Karena ada dorongan dari dalam diri untuk bersikap enteng dalam membantu kawan, maka perasaan sosial pun menjadi lebih tinggi, dan saya pun menjadi gampang tersentuh terhadap penderitaan sahabat-sahabat saya.
Saya merasa lebih maju dan lebih beradab. Saya senang dan bangga dengan perilaku saya yang sekarang. Perasaan malu atas diri saya di masa lalu telah banyak berkurang, karena telah terobati oleh perbuatan baik saya kepada kawan saya. Indikator kemajuan itu adalah “ketika saya melihat kawan saya bahagia, maka saya ikut berbahagia. Ketika saya melihat kawan saya bersedih, maka saya pun ikut bersedih, dan ingin berbuat sesuatu untuk mengurangi kesedihannya.
Demikian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar