Malam ini jam 21.15 tanggal 11 Februari 2009, hari Rabu, saya dan Slamet menembus hujan deras untuk mensurvei sepanjang jalan raya Surabaya – Malang, di Singosari, untuk menemukan empat orang gelandangan yang akan kami beri makan. Malam ini kami tidak menemukan seorangpun gelandangan, sehingga membuat semangat kami sedikit agak mengendor. Beberapa saat kemudian Slamet menginformasikan bahwa di daerah Lawang, seringkali dia memperhatikan banyak sekali gelandangan yang tidur-tidur di pelataran Ruko.
Kami segera meluncur menuju Lawang, beberapa saat sebelumnya dua orang lagi bergabung dengan kami, yaitu si kembar Okky dan Dony. Hujan semakin deras, temperatur menurun, meskipun kami memakai mantel hujan, namun baju kami masih basah kuyup. Dalam keadaan kedinginan, saya terbatuk-batuk mengawasi pelataran toko, sementara Slamet berjuang mengendalikan skuter tua saya yang mengalami masalah pada persnelingnya. Tidak lama kemudian kami melihat beberapa orang gelandangan. Setelah kami hitung jumlahnya pas empat orang (namun beberapa saat kemudian, ketika hari semakin malam, jumlahnya malah membengkak).
Kami beri mereka, para gelandangan itu makanan, masing-masing satu porsi nasi pecel hangat dan satu bungkus plastik teh panas. Kami sengaja mencari makanan yang lebih murah, agar kami dapat memberi makan gelandangan lebih banyak dan lebih lama, maklum karena dana yang kami miliki sangat sedikit. Kami bergiliran memberi makanan kepada para gelandangan itu. Pertama Slamet, kemudian Dony, kemudian Okky, dan kemudian Slamet lagi, sementara saya bertugas mendokumentasikan kegiatan itu. Para gelandangan itu rupanya kelaparan dan belum memakan apa-apa malam itu, dan itulah mengapa beberapa dari mereka langsung membuka bungkus nasi itu, lantas makan dengan lahapnya.
Apa yang kami lakukan adalah sekedar hal kecil yang sama sekali tidak akan membawa perubahan besar pada mereka, kami sadar akan hal itu. Sebaik dan sekeras apapun kami berusaha membantu gelandangan, kami sangat pesimis bahwa gelandangan dapat hilang dari kota kami. Terlalu banyak permasalahan yang dimiliki manusia, serta terlalu sedikit sumberdaya yang kami miliki. Bukan alasan-alasan seperti “memerangi kemiskinan” yang menjadi idealisme kami, sama sekali bukan. Hanya saja hati muda kami terpanggil untuk membantu mereka sebisa kami, yaitu orang-orang susah yang tidak memiliki tempat untuk sekedar berteduh dari hujan dan panas, orang-orang malang yang tidak tersentuh oleh lembaga sosial serta lembaga keagamaan manapun, orang-orang bernasib buruk yang luput dari perhatian banyak orang. Kali ini kami hanya bisa berusaha membuat mereka tidur dalam keadaan kenyang, itupun tidak semua orang, dan tidak setiap hari. Namun kami berharap bahwa suatu hari nanti kami dapat melakukan hal yang jauh lebih bermakna untuk mereka.
Yang lebih penting lagi untuk dimengerti adalah bukan seberapa efektif apa yang kami lakukan untuk mereka, namun seberapa efektif kegiatan ini berdampak kepada psikologis kami. Okky dan Dony berusia 23 tahun, saya 26 tahun, sementara Slamet masih berusia 18 tahun, tetapi dengan adanya kegiatan ini, kami sama-sama telah benar-benar mengalami pengalaman empiris bersentuhan secara langsung dengan orang-orang yang menderita. Kami tidak hanya mendengar dari orang lain tentang kisah suatu penderitaan hidup yang tragis, namun kami menyaksikan dengan mata kepala sendiri suatu tragedi yang dialami oleh seorang manusia, sehingga mereka menjadi terlantar dipinggir jalan seperti itu.
Tentunya kegiatan seperti ini syarat dengan pelajaran berharga bagi jiwa muda kami. Salah satu pelajaran berharga yang kami dapatkan adalah, bahwa kami merasakan kebahagiaan secara mendalam ketika kami bisa memberikan sesuatu yang dapat membuat para gelandangan itu sedikit berbahagia. Pesannya adalah bahwa merupakan satu kebutuhan rohani bagi manusia untuk saling berbagi, merasa kasihan, merenungkan penderitaan dengan orang lain, serta bertindak nyata untuk mengurangi penderitaan orang lain itu. Okky, Dony, dan Slamet merasa terpanggil untuk mengabarkan kepada teman-teman sekampung mereka tentang pesan serta pelajaran mulia yang mereka dapatkan dari pengalaman mereka itu. Saya sendiri tergerak untuk menulis ini agar bisa anda baca, dengan harapan tulus agar anda juga bisa melakukan sesuatu seperti yang kami lakukan.
Tidak usah terlalu rumit berencana atau terlalu neko-neko untuk membantu orang-orang terlantar tersebut, mereka tidak membutuhkan itu, dan mereka akan kelelahan karena terlalu lama menunggu rencana anda. Turunlah ke jalan malam ini juga, belanjakan sekedar beberapa ribu rupiah anda untuk membeli sebungkus nasi murahan, berikan kepada para gelandangan itu. Sementara mereka bisa tidur tanpa perasaan kelaparan, anda pun dapat tidur dengan nyenyak karena anda telah melakukan sesuatu yang sangat mulia, yang sangat sedikit orang yang mau melakukan. Bayangkan jika banyak orang yang melakukan ini, tidak akan lagi kelaparan, jumlah ke-egois-san juga akan sedikit meluntur.
membantu sesama merupakan impian mulia yang tentu saja akan didukung oleh Tuhan,seringkali kita kerap ingin mengubah keadaan menjadi lebih baik dan terus menjadi lebih baik.Alangkah indahnya bila kita tak pernah berhenti berhenti bermimpi dan menjadikan impian kita nyata dalam membantu sesama. Mari bersama sama kita bantu secara perlahan dengan pasti.
BalasHapus