Kamis, 05 Februari 2009

Tradisi pemalas orang-orang Jeren

Terdapat sekumpulan manusia yang berdiam di sebuah pulau yang wilayahnya tidak terlalu luas bernama Janubi, di sebuah negara bernama Indigo. Segala hal di pulau itu bagus, tanahnya subur, banyak sungai… hanya saja rakyatnya yang terlalu menyebalkan. Mereka adalah sekumpulan manusia yang memiliki cara berpikir yang aneh, memiliki kebiasaan yang tidak teratur, memiliki keinginan yang sangat kurang, sehingga kelihatan sekali bahwa hidupnya sangat pasif, tidak menginginkan adanya banyak perubahan.

Truspana adalah seorang pemuda berusia 21 tahun, berasal dari suku Jeren, sebuah suku terbesar yang tinggal di pulau Janubi. Dia adalah salah satu contoh sosok seorang pemuda yang karakternya seperti kebanyakan pemuda Jeren yang lain. Dia bekerja di sebuah pabrik sabun bernama Grubo Corporation, dengan gaji yang sangat rendah. Grubo Corporation adalah sebuah perusahaan asing yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh asing. Jika dibanding dengan perusahaan asing lainnya, Grubo termasuk sebagai perusahaan yang “pemurah”. Ketika Negara Janubi mengalami kemunduran ekonomi pada tahun 1997, banyak investor yang angkat kaki dari negara ini. Dalam penilaian mereka, tidak ada lagi yang menguntungkan dari negara Indigo. Lagi pula jika mereka terus berinvestasi di negara yang terkenal dengan buruhnya yang sangat pemalas, tinggi hati, dan pembangkang… maka hal ini dianggap sebagai tindakan yang beresiko oleh para investor tersebut.

Sehari-hari apabila tidak sedang bekerja, Truspana menghabiskan sebagian besar waktunya dengan menonton TV, bermain game, berbicara tentang perempuan, keluar bersama dengan pacarnya tanpa tujuan penting, diam berlama-lama merokok sambil melamun, berkumpul seharian dengan teman-temannya sekedar untuk kongkow-kongkow, menghabiskan uang untuk kopi dan rokok, atau tidur.

Truspana tidak bisa menepati satu janjipun yang dia buat. Daftar janji untuk dirinya sendiri dan untuk orang lain telah sedemikian panjangnya, namun tidak satupun yang bisa dia tepati. Tahun lalu dia berjanji membelikan adiknya sebuah sepeda mini, namun hingga kini janji itu tinggal janji. Beberapa bulan yang lalu dia bertekad untuk bisa berbahasa Inggris, karena dia ingin bisa menyapa orang asing yang sedang berkunjung ke situs bersejarah yang ada di daerahnya, namun hingga sekarang dia tidak pernah membaca buku bahasa Inggris apapun, atau bergabung dengan lembaga kursus bahasa Inggris manapun. Sudah lama dia menginginkan tubuh yang bagus, seperti badan Conan, namun dia tidak pernah pergi ke Gym. Semuanya hanyalah keinginan-keinginan yang tidak serius.

Sekalipun dalam hidupnya Truspana tidak pernah menghadiri acara atau pertemuan dengan tepat waktu. Apabila dia berjanji untuk bertemu di suatu tempat dengan seseorang jam 18:00 persis, maka itu berarti bahwa dia akan datang jam 18:30 atau jam 9:00, atau malahan bisa jadi Truspana tidak datang sama sekali tanpa adanya pemberitahuan dan permohonan maaf. Ada saja alasannya jika dia ditanya mengapa dia datang terlambat. Seperti kebanyakan pemuda Jeren yang lain, perilaku Truspana seringkali menjengkelkan.

Meskipun bergaji rendah, Truspana tidak berusaha untuk mengirit pengeluarannya sama sekali. Dia seringkali terlihat membeli barang-barang yang sebenarnya tidak terlalu berguna seperti misalnya sepatu bagus, baju bagus, TV, DVD, dan arloji bagus. Bahkan seringkali dia menyelanggarakan selamatan, yaitu sebuah pesta untuk bersenang-senang yang berkedok ritual tolak bala.

Seperti kebanyakan pemuda Jeren yang lain yang tinggal di pulau Janubi, Truspana tidak menginginkan adanya perubahan dalam hidup. Mereka sangat nyaman dengan status quo mereka, apapun kondisi mereka yang sekarang. Jadi, tidak tertera dalam arsip kehidupan mereka untuk membiasakan diri untuk membaca buku, menonton film dokumenter, berjalan bersama dengan orang-orang yang ingin memajukan kehidupan mereka, atau berusaha memperbaiki segala hal yang menjadi kebiasaan buruk bagi mereka.

Orang-orang Jeren memiliki kebiasaan buruk yang sukar sekali dihilangkan. Yaitu jarang sekali merapikan kamar tidur, membersihkan kamar mandi, atau menyapu lantai rumah mereka. Seringkali mereka membuang sampah sembarangan. Perkampungan mereka tersebar hampir di seluruh pulau Janubi, kesemuanya terlihat kotor dan kumuh.

Orang-orang Jeren adalah orang-orang lemah yang tidak tahan dengan kedisiplinan, serta tidak tahan dengan rasa sakit yang ditimbulkan akibat perjuangan. Segala hal yang berhubungan dengan himbauan yang membuat mereka untuk selangkah lebih maju selalu ditanggapi dengan sangat sepele, seakan-akan himbauan itu adalah ajakan konyol, menuju hal-hal konyol yang sifatnya semu, yang tidak akan pernah akan terjadi dalam kehidupan nyata. Daripada berupaya memajukan harkat dan martabat mereka menjadi lebih baik, mereka cenderung berdiam diri menerima nasib, menghanyutkan diri pada situasi dan kondisi apapun yang menyertai mereka.

Percuma saja berusaha membuat orang-orang Jeren untuk memahami serta manghargai makna sebuah perjuangan hidup, karena orang-orang Jeren sudah memiliki prinsip hidup tersendiri yang telah mereka warisi secara turun temurun, yang sangat mereka. Mereka beranggapan bahwasanya hidup hanyalah sebuah lakon, bahwa setiap manusia hanyalah melakoni kehidupan yang telah digariskan oleh Tuhan kepadanya. Dengan pemahaman yang seperti ini orang-orang Jeren menjadi orang-orang pemalas yang selalu melemparkan tanggung jawabnya kepada Tuhan. Selain itu orang-orang Jeren juga menganggap bahwa hidup hanyalah suatu proses yang sederhana, yaitu dilahirkan, bertumbuh, dewasa, menikah, memiliki anak, membesarkan anak, dan menunggu kematian.

Payah, payah, payah, payah, payah….!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar