Beberapa waktu yang lalu saya pergi ke salah satu Bank swasta untuk menyetorkan sejumlah uang, guna keperluan men-transfer. Sepulangnya dari bank swasta tersebut saya langsung pergi ke bank pemerintah untuk menabung. Setelah beberapa saat saya duduk di sebuah bangku, di sudut ruangan bank pemerintah itu, suasana tidak nyaman mulai terasa. Kaki saya berkali-kali saya digigit nyamuk dalam penantian saya menunggu antrean. Jika dibandingkan dengan suasana ruangan bank milik swasta yang selalu tampak modern dan ber-AC, maka suasana dan tata letak ruangan bank milik pemerintah cenderung serasa lebih kuno, lembab dan panas. Saya seakan-akan saya dibawa kembali oleh mesin waktu kepada suasana kantor di era tahun 80-an. Pada waktu saya masih kecil, saya sering diajak ibu untuk menabung di bank pemerintah. Di dalam ruangan bank itu saya melihat sebuah pelapis dinding (wallpaper) yang berlatar belakang sebuah pemandangan hutan lumut bersalju, yang pada waktu itu terlihat apik dan indah.
Ironisnya setelah belasan tahun berlalu, yaitu pada masa sekarang ini wallpaper itu masih bisa saya lihat, tidak pernah diganti, kelihatan kusam, berjamur disana-sini karena dimakan usia.
Dalam hal melayani customer juga tampak suatu perbedaan yang mencolok. Karyawan bank swasta selalu melayani customer mereka dengan senyuman yang ramah di bibir, sementara pegawai bank pemerintah tampak melayani customer dengan muka dingin, seakan-akan tidak bersahabat. Jika karyawan bank swasta terlihat sangat peduli kepada para customer mereka, maka pegawai bank pemerintah cenderung terlihat lebih peduli kepada dirinya sendiri, misalnya ketika customer sedang membicarakan sesuatu, pandangan mata pegawai bank tersebut seringkali tertuju kepada sesuatu yang ada di meja kerja mereka dari pada menatap customer yang sedang berbicara dengan mereka.
Satu tahun yang lalu saya harus menjalani terapi fisik berulang-ulang, untuk membuat normal kembali cara berjalan saya pasca retak sendi lutut akibat suatu kecelakaan di tempat kerja. Saya datang ke Rumah Sakit Umum dengan terpincang-pincang menuju ke bagian informasi untuk menanyakan tempat yang harus saya datangi sesuai dengan petunjuk pada surat yang dibuat oleh dokter perusahaan. Sebelum bertanya saya harus menunggu beberapa saat, karena penjaga lobi bagian informasi tersebut sedang bergurau bersama seorang temannya. Sambil membawa sepotong kue tart ditangan mereka masing-masing dari mereka bergurau seru, padahal mereka sedang bertugas, tidak sedang beristirahat. Setelah membersihkan mulutnya dengan tisu, penjaga lobi tersebut memandang saya sekilas dengan pandangan bosan, kemudian dengan setengah mengabaikan, tanpa memandang ke arah saya, dia menanyakan apa keperluan saya. Maka saya bilang bahwa saya ingin diberi tahu letak bagian terapi fisik. Dengan tanpa memandang saya lagi, pura-pura sedang sibuk, dia menunjukan tempat terapi fisik itu berada. Kemudian saya pergi meninggalkan lobi itu sambil mengucapkan terimakasih, tapi dengan persaan agak jengkel.
Beberapa saat setelah saya menemukan bagian itu, saya bertemu dengan seorang dokter ortopedi yang berwajah biasa, namun tidak banyak bicara. Dokter itu mengangkat kaki kiri saya, membengkokannya kesana kemari, sembari bertanya “sakit?”, begitu terus hingga berulang-ulang. Beberapa lama kemudian, setelah memeriksa kaki saya, dokter itu memberi saya secarik surat yang tidak diberi amplop, menyuruh saya ke sebuah kamar dibalik ruangan dokter itu. Ternyata saya diarahkan memasuki sebuah ruangan laser. Di dalam ruangan itu saya bertemu dengan seorang pria tanggung paruh baya yang berambut jarang, orangnya ramah tapi kelihatan mengantuk, seperti habis melakukan ronda semalam suntuk. Orang itu menggenggam semacam alat yang bentuknya mirip seperti handy talky, yang dihubungkan dengan semacam kabel optik kesebuah mesin yang berbentuk seperti alat penyedot debu. Dia menusuk-nusukkan alat tersebut ke persendian lutut saya, masing-masing titik sekitar lima menit-an. Karena orang tersebut kelihatan sedang sibuk berkonsentrasi dengan pekerjaannya, maka saya berbaring diam tidak berkata apa-apa hingga ketiduran. Beberapa saat kemudian saya dibangunkan dengan rasa ngilu di lutut saya. Saya kaget melihat apa yang saya saksikan, orang paruh baya tersebut tertidur dengan posisi terduduk sambil mendengkur, kepalanya miring kearah kiri, sementara alat laser yang dia genggam itu sudah menempel hingga sekian lama pada titik yang sama dikaki saya, sehingga menimbulkan rasa linu. Saya goyangkan kaki saya sedemikian rupa hingga orang itu terbangun, memandang saya dengan tersipu malu, kemudian melanjutkan pekerjaannya lagi.
Beberapa saat kemudian saya menuju ke ruang terapi sinar infra merah, sesuai petunjuk kedua yang ada pada surat dokter tersebut. Saya tiba pada sebuah ruang besar dengan banyak kabin-kabin yang dibatasi oleh kelambu. Saya menuju ke ujung sebuah ruangan dimana ada dua orang wanita setengah baya berjilbab duduk disebuah kursi, sedang seru ngerumpi. Ibu-ibu ini murah senyum memakai baju putih-putih ala paramedis, dengan sebuah pengenal di dada sebelah kanan masing-masing. Saya berikan surat dokter tersebut pada salah seorang diantaranya, setelah membacanya beberapa saat, ibu itu mempersilahkan saya tidur di sebuah ranjang disalah satu bilik. Di situ kaki saya ditata sedemikian rupa, diberi sebuah lampu merah diatasnya, kemudian dinyalakan, rasanya hangat-hangat panas. Setelah memasang lampu itu, ibu tadi segera pergi untuk melanjutkan merumpi dengan temannya. Lagi-lagi saya ketiduran. Beberapa saat kemudian, saya terbangun, dari arloji saya tahu bahwa saya tadi sudah tertidur hampir setengah jam, kaki saya tidak merasakan panas lagi, cahaya warna merah yang tadi menerpa kaki saya sekarang sudah tidak tampak lagi. Saya tahu, rupanya lampu itu memakai timer, distel dalam waktu tertentu sehingga bisa mati sendiri. Namun lucunya adalah wanita itu tidak tahu kalau lampu infra merah itu sudah mati, dan saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Maka saya diam saja di situ, lama sekali, hingga wanita itu masuk, tersenyum dan berkata “oh lampunya sudah mati, berarti sudah selesai terapinya”. Aduh jengkel sekali saya.
Beberapa saat yang lalu saya diminta untuk memberikan bantuan mengajar beladiri praktis di Polwil. Saya membantu seorang kawan untuk memberikan teknik kuncian kepada para samapta, yang waktu itu akan ditugaskan untuk memelihara keamanan di Sampang – Madura, dalam rangka pilkada ulang. Sebelumnya saya sudah sangat grogi, karena berpikir bahwa terdapat sebuah aturan dan etika yang ketat dalam kepolisian. Ternyata kedisiplinan mereka tidak seketat seperti yang saya pikirkan sebelumnya. Tolok ukur saya adalah satpam perusahaan di pabrik tempat saya bekerja dulu yang kelihatan sangat disiplin, takut dengan atasan, dan berperilaku sesuai dengan etika seperti yang diharuskan. Namun pada kepolisian ini saya menyaksikan suasana yang sangat lain. Bahkan dalam sebuah apel, beberapa orang dibagian paling belakang barisan terlihat ketawa-ketiwi, saling bergurau, bahkan dengan rekan mereka yang memiliki pangkat lebih tinggi. Saya tidak melihat adanya sebuah disiplin tinggi seperti halnya yang saya lihat pada satpam perusahaan.
Kebiasaan nyambi berjualan pakaian juga tidak pernah hilang pada ibu-ibu pegawai negeri. Dulu saya pernah main-main ke sebuah perpustakaan Malang yang waktu itu tidak lama baru saja dibangun ulang. Saya melihat beberapa orang ibu pegawai negeri berseragam, menggelar pakain dagangan pakaian wanita diatas meja, mereka saling membicarakan dagangan mereka, cuek dengan orang lain yang berlalu lalang disekitar mereka, tidak ada sedikitpun rasa malu. Pemandangan yang sama juga saya temui di sebuah kampus negeri di Kota Malang, ketika pada suautu waktu saya mencoba untuk mendaftarkan diri untuk berkuliah di sana. Saya melihat di sebuah kantor TU, seorang rektor wanita tua berkacamata tebal yang harus saya temui, terlihat sedang melihat-lihat baju dangan teliti, kemudian menawarkan baju itu pada salah satu rekannya. Janggal sekali, berdagang pakaian di kantor TU.
Ayah saya adalah pegawai negeri sipil. Ketika saya masih kecil, saya sering dibawa oleh ayah saya ke tempat kerja beliau. Ketika ayah saya masih aktif bekerja, belum pensiun, pada musim liburan sekolah beliau mengajak saya main-main ke kantor beliau. Di sana saya menyaksikan sebuah pemandangan yang menurut orang kebanyakan memalukan. Para pegawai di sana hanya mondar-mandir, mengobrolkan obrolan selain pekerjaan bersama temannya, tidak pada jam istirahat. Saya beranggapan bahwa sepertinya para pegawai negeri disana sangat kekurangan pekerjaan. Indikasinya adalah seringnya mereka berkumpul, kongkow-kongkow di lapangan olah raga, tempat parkir, dan kantin kantor, meskipun tidak pada jam-jam istirahat. Saya berkesempatan untuk menguping topik pembicaraan mereka. Kelihatannya sih serius, tapi mereka hanya membicarakan hal-hal remeh temeh sehubungan dengan makelaran motor, dukun pijat yang paling oke, tempat rekreasi yang bagus, harga tanah di suatu tempat, cerita-cerita perjalanan yang pernah dilakukan, hingga rencana buka usaha dagang bersama. Payah.
Suatu ketika saya pernah ada urusan dengan taman rekreasi kota sehubungan dengan penitipan satwa langka di tempat itu. Taman rekreasi kota adalah suatu tempat rekreasi yang dikelola oleh pemerintah kota, yang sarat dengan binatang-binatang, jadi semacam kebun binatang kecil. Dalam sebuah urusan itu saya berkesempatan untuk mengenal beberapa orang di sana, dan mengetahui kebiasaan pekerjaan mereka. Kesan pertama adalah kacau balau, kantornya kotor, seperti tidak pernah dipel atau bahkan disapu. Terdapat bekas lumpur ban motor yang mengering yang sangat kelihatan mencolok di atas lantai tegel kantor itu. Jika kantor tempat tinggal manusia saja seperti itu, maka bisa dibayangkan seperti apa kandang hewan yang mereka pelihara. Saya melihat kandang landak yang tidak dibersihkan sehingga bau pesing menyeruak dari situ. Kandang ayam hutan yang ditaruh berdekatan dengan kandang burung sejenis elang, padahal mereka itu kan musuh bebuyutan, jelas ayam itu merasa terintimidasi. Beberapa kali saya datang kesitu, saya selalu melihat bpk.******* selalu datang terlambat, terburu-buru, namun tidak ada satupun yang berani menegor. Orangnya juga tidak tahu malu. Payah.
Perbedaan yang mencolok antara pegawai pemerintah dengan pegawai swasta adalah dari tingkat keseriusannya. Pegawai swasta sering terlihat sedang serius membicarakan masalah kantor dengan temannya. Mereka lebih agresif, lebih cepat, lebih efisien, lebih ingin tahu, dan lebih enerjik. Berkebalikan dengan pegawai swasta, pegawai negeri lebih terlihat ngglenyah-ngglenyoh, klular-klulur, dan nglemer… tidak tahu bahasa Indonesianya apa, tapi mendekati malas dan bersantai-santai. Pegawai negeri hanya sekedar hadir di kantor, tulis-tulis, kemudian buru-buru pulang. Pikiran mereka selalu ada di mana-mana selain di tempat kerja, maunya ngobyek atau belanja saja. Jika sudah seperti ini lantas bagaimana mereka bisa maju, lha wong seringkali pimpinan mereka juga santai-santai, menyerahkan banyak urusan pada bawahan mereka, sementara anak buahnya hanya bekerja setengah-setengah, bekerja seminimal mungkin asal tidak menimbulkan masalah dan dipecat. Bagaimana mereka bisa melayani rakyat dengan baik jika perilaku mereka seperti juragan.
Wis masalahnya kompleks betul. Masih belum menjadi kapasitas saya untuk memberikan ide tentang jalan keluar dari permasalahan super besar yang membudaya secara turun temurun semacam ini. Namun ada baiknya jika gaji pegawai negeri dinaikan, tunjangan sangat diperhatikan, namun jumlah pegawainya di kurangi hingga dinilai cukup proporsional dengan tingkat kesulitan pekerjaan mereka. Setiap keteledoran selalu diganjar sangat berat, tidak ada penurunan pangkat, setiap kesalahan berat selalu berakibat pada pemecatan, hilang semua gaji dan pensiun. Setiap pegawai yang berprestasi harus di hargai kerja kerasnya, dia harus ditempatkan sebagai pemimpin dengan harapan bahwa kedisiplinannya itu dapat mencambuki etos kerja para pegawai pemerintah yang terkenal kempos. Pegawai yang disiplin ini harus digaji sangat tinggi, sesuai dengan tingkat stress kerja yang dia tanggung. Peraturan kepegawaian harus dirubah total. Setiap orang harus didoktrin bahwa mereka bukan bukan seorang priyayi seperti pegawai negeri kontemporer jaman penjajahan, namun mereka adalah abdi negara, abdi rakyat. Sehingga dengan demikian tidak ada lagi pegawai negeri yang sembrono, yang hidup bersantai-santai mengandalkan pensiun.
Saya berharap yang terbaik untuk mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar