Kamis, 29 Januari 2009

Menginap semalam di rumah Ai Lia

Pada sore hari saya menerima tilpun dari Ai Lia, beliau mengabarkan bahwa beliau membutuhkan saya untuk tinggal menjaga rumahnya sementara dia sekeluarga pergi untuk menghadiri suatu pertemuan keluarga dalam rangka menyambut hari raya Imlek 2560. Saya menyanggupi dengan sebuah kesepakatan bahwa saya boleh membawa anak-anak India, si Akash Sharma dan si Mohsin Alam untuk menemani saya berkaraoke di rumah Ai Liya. Namun tidak dapat dipastikan bahwa anak-anak India itu bisa seratus persen dapat menemani saya berkaraoke di rumah Ai Lia, maka untuk itu saya juga mengajak si Eng.

Sekitar jam 15:00 WIB saya datang di rumah Eng untuk menjemput dia. Sebelum kami pergi ke rumah Ai Lia, kami menyempatkan diri untuk mengobrol ringan. Di dalam kamarnya dia menunjukan beberapa barang yang berhubungan dengan dunia kearsitek-an yang menjadi kesibukannya, juga tulisan-tulisan yang telah dia susun dalam waktu senggangnya. Meja arsitek milik Eng, adalah meja arsitek pertama yang saya sentuh, saya kagum dengan mekanisme alat ini. Pada komputernya, Eng menunjukan beberapa topik tulisan yang sedang dia susun, antara lain adalah filosofi tentang kehidupan, keTuhanan, serta percintaan. Memang usia Eng masih belia, waktu saya menulis ini dia berusia 18 tahun, masih bocah, namun ketertarikannya terhadap pembicaraan yang menyangkut filosofi membikin bangga.

Saya membonceng Eng dari rumahnya menuju rumah Ai Lia dengan mengendari motor Vega R milik Winto. Akhirnya kami sampai di tempat Ai Liya jam 16:30-an, ternyata keluarganya Ai Lia masih belum bersiap menuju acara mereka. Rico, si anak sulung Ai Liya sedang sibuk belajar gitar dengan guru privatnya, sementara kakaknya si Hen-hen sedang tidur.

Sekitar jam 18:00 saya bersama keluarga Ai Lia dan Eng sedang berada dalam mobil menuju sebuah ruko besar yang menjadi tempat pertemuan keluarga. Saya dan Eng tidak mengikuti keluarga Ai Lia masuk kedalam ruko, kami memiliki tugas tersendiri, yaitu menjemput anak-anak India. Sebelum Ai Lia pergi meninggalkan kendaraan, beliau memberi kami uang seratus ribu sebagai uang makan. Seumur-umur saya tidak pernah dipercaya sebelumnya oleh orang lain yang bukan saudara saya, untuk menjaga rumahnya, diberi ijin memakai mobilnya, dan diberi uang jajan seratus ribu rupiah.

Sesampainya di tempat anak-anak India, setelah menunggu beberapa saat, kami bertemu dengan mereka. Namun hal yang tidak kami harapkan terjadi, si Akash terserang masalah konstipasi, sehingga sudah beberapa hari ini dia muntah-muntah terus. Melihat kondisinya, kami sudah tahu jawaban apa yang akan dia berikan ketika saya mengajak dia untuk berkaraoke di tempat Ai Lia. Si Akash bilang bahwa dia tidak terlalu kuat untuk diajak-ajak keluar dulu.
Setelah beberapa lama kami bergurau di tempat anak-anak India itu, saya dan Eng pergi untuk mencari masakan. Karena Eng sedang terkena radang tenggorokan, maka kami memilih masakan ringan untuk makanan malam. Lalapan Pak Pi’I adalah pilihan kami untuk mengenyangkan perut. Kami berniat untuk menghabiskan uang saku yang diberikan oleh Ai Lia… maka kami memesan tiga porsi nasi lalapan jamur, satu porsi nasi lalapan lele, satu teh tawar, dua es campur, dan sebuah poding. Satu porsi pertama saya sangat menikmati masakan-masakan itu, namun porsi kedua itu saya mulai berjuang, perut saya mulai penuh, es campur yang sangat manis memperparah kondisi itu. Setelah saya menghabiskan porsi yang kedua itu, saya merasa dalam bahaya muntah, makanya saya tidak berani langsung berdiri. Di saat saya merasa perut saya mau meledak, Si Eng malah memesan satu porsi kentang.

Dalam keadaan sangat kenyang kami pulang ke rumah keluarga Ai Lia, tidak ada lagi yang ingin kami lakukan selain pulang kerumah itu. Sesampainya di rumah itu, saya menghidupkan DVD dan seperangkat sound system besar milik keluarga Ai Lia, kemudian berkaraoke. Saya dan Eng bergantian bernyanyi, karena selera kami tidak sama, jika dia menyukai lagu-lagu dari group-group band baru, maka saya cenderung menyenangi lagu-lagu tembang kenangan.

Malam itu kami menginap di rumah keluarga Ai Liya dengan perut kekenyangan.

Pelajaran baru bagi saya “kita harus berjuang menjadi orang jujur sehingga kita bisa dipercaya oleh orang lain”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar