Minggu, 25 Januari 2009

Kebahagiaan dan kebosanan menurut saya



Kebahagiaan adalah bagaikan seorang teman biasa yang kehadirannya tidak bisa kita perkirakan. Dia datang dan pergi semau-maunya, dia sama sekali tidak memiliki disiplin waktu, dan dia juga tidak berniat memiliki motivasi untuk tepat waktu. Kita tidak dapat menuntut dia agar dia datang pada saat-saat darurat dimana kita sangat membutuhkan dia. Baginya kita ini bukan teman baiknya, dan dia tidak merasa berkewajiban untuk datang menemani kita, meskipun ketika kita sedang benar-benar mengharap kedatangannya. Terkadang, tanpa disangka-sangka dia datang, kemudian dia mengajak kita bersuka-cita, membuat segala sesuatu yang kita lihat tersenyum dan berwarna indah. Tetapi kemudian si “bahagia” itu pergi, tanpa pamit, digantikan dengan si “bosan” yang datang mengunjungi, yang membuat segala sesuatu di alam ini terlihat tawar dan tidak lagi terlhat menarik. Ironisnya adalah, bahwa kebosanan merupakan seorang sahabat sejati, yang selalu siap sedia mendampingi dimanapun kita berada. Ketika kebahagiaan pergi menghianati kita, maka dengan sabar kebosanan akan datang dan dengan setia menemani kita.

Dalam pengertian kebanyakan, “kebahagiaan” itu dipandang sebagai seorang teman yang menyenangkan dan memiliki banyak kelebihan, berwajah rupawan serta berpenampilan menarik. Kemunculannya sangat kita tunggu-tunggu, karena kita beranggapan bahwa kehadirannya dapat membuat kita merasa nyaman, tentram, ayem, merdeka, dan berbunga-bunga. Namun harus diingat, bahwa dia itu bukanlah seorang teman atau sahabat yang setia. Bagi dia, kita ini hanyalah satu dari sekian banyak teman-temannya yang tidak terlalu berarti baginya, kita ini bukan apa-apa bagi dia.

Jika si “kebahagiaan” dipandang sebagai seorang partner yang serba sempurna, maka sebaliknya dengan si “kebosanan”. Kita cenderung malah menganggap si “kebosanan” adalah bukan siapa-siapa kita, yang kehadirannya selalu membebani kita. Kita tidak pernah menginginkan keberadaannya. Apabila dia datang menghampiri untuk menemani, karena dia tahu bahwa “kebahagiaan” telah meninggalkan kita, kita malah menjauhinya. Kita sudah kadung terlena dengan kecantikan atau ketampanan si “kebahagiaan”, sehingga kita selalu menganggap bahwa “kebosanan” adalah seorang yang tidak memiliki kegunaan apapun, segala sesuatu yang ada padanya hanyalah kesia-siaan belaka. Lha nyatanya, ketika kita sedang bosan, maka kita cenderung tergerak untuk meninggalkan si “kebosanan” itu dengan menonton TV, pergi mabuk-mabukan, tidur, atau malah melamun. Kita sama sekali tidak menghargai kehadiran si “kebosanan”, kita sama sekali tidak memiliki kepedulian apapun pada si “kebosanan”.

Padahal jika diperhatikan baik-baik, si “kebosanan” itu adalah mahluk yang lugu, mungkin tidak memiliki kelebihan apapun, tidak berwajah rupawan, dan tidak berpenampilan menarik. Namun kenyataannya dia adalah lugu, yang dia punya hanyalah kesetiaan abadi dan pemberian yang tidak berbalas. Dia akan sangat sedih ketika dia mengetahui bahwa kita sedang ditinggalkan oleh si “kebahagiaan”, lalu dengan tergopoh-gopoh dia akan mendatangi kita untuk menemani, meskipun dia tahu persis bahwa kita tidak akan menyambutnya dengan baik. Memang dia tidak pernah sekalipun pernah berharap bahwa dia akan mendapatkan sambutan yang hangat dari kita, tapi itu tidak pernah menjadi masalah baginya, karena kasih sayangnya tidak pernah berbalas.

Kenapa sih kita selalu bersikap jahat pada si “kebosanan”, kenapa sih kita selalu memusuhinya? Mengapa tidak pernah sekalipun kita mencoba berkomunikasi dengannya? Kenapa kita tidak pernah membuka pikiran kita, siapa tahu dengan adanya pertemanan yang erat dengan si “kebosanan” ini kita dapat memetik suatu pelajaran berharga tentang kehidupan, yang tidak kita dapatkan dari si “kebahagiaan”. Selama ini sikap kita hanyalah selalu jengkel dan menolak mentah-mentah si “kebosanan”, tanpa melihat dulu maksud kedatangannya.

Kita harus menyadari bahwa kebahagiaan itu sudah tidak bisa diandalkan, kesetiaannya sangat diragukan. Fakta telah mengatakan bahwa kebahagian dapat mendadak berlaku kejam pada seseorang dengan tiba-tiba meninggalkan orang tersebut sendiri didalam sebuah kondisi susah. Dia seringkali hanya melihat saja dalam “jarak yang aman”, seseorang yang dulu pernah menjadi teman lamanya itu bergulat seorang diri, kehabisan napas, melawan penderitaan sampai mati. Kebahagiaan hanya akan menatap dingin bekas temannya itu, yang sedang menderita,tanpa melakukan apa-apa, tanpa berbelas kasihan sedikitpun. Kebahagiaan itu dapat menjelma sebagai masakan yang lezat di restoran mahal ketika seseorang sedang kelaparan, atau kebahagiaan dapat menjelma sebagai satu keluarga utuh yang harmonis ketika seseorang baru saja kehilangan keluarganya akibat sebuah bencana.

Sudah saatnya kita menoleh kepada kebosanan, belajar menghormati keberadaannya, memperhatikan perilakunya, dan menghargai kesetiaannya. Mulailah sebuah hubungan yang erat dengannya, rangkulah dia meskipun penampilannya memuakan. Berdamailah dengan kebosanan, jangan dimusuhi, mintalah dia untuk membahagiakan kita, mintalah dia membantu kita memajukan kualitas kita. Syaratnya adalah, bahwa kita harus mengerti bahasa kobosanan, sehingga kita dapat berdialog dengannya, dan agar dia dapat mengerti apa saja yang kita inginkan. Meditasi, kontemplasi, Yoga, dan perenungan, adalah bahasa-bahasa yang bisa dipahami oleh kebosanan. Dengan bahasa-bahasa itu, kebosanan akan menunjukan kebesarannya , dan dengan bahasa-bahasa itu pula kebosanan akan memberikan suatu pelajaran-pelajaran berharga tentang kehidupan, sedikit demi sedikit.

Salah satu lagi bahasa yang dapat dipahami oleh kebosanan adalah bahasa ketelatenan. Apabila kita menerima kebosanan dengan tangan terbuka, kemudian dengan sabar dan telaten mengajak dia untuk memajukan kualitas kehidupan bersama, maka lambat laun kebosanan akan menjelma menjadi suatu mahluk yang nyata, berpenampilan menarik, berwajah rupawan, dan… selalu setia. Semakin kita mempercayai kebosanan adalah seorang teman setia, yang selalu dapat menghadirkan mawas diri dalam diri kita, maka kebahagiaanpun akan kita dapatkan. Rupanya kebosanan itu hanya mau menjelma menjadi kebahagiaan, apabila kita sudah merasa cukup berbuat sesuatu yang baik, apabila kita sudah merasa mengisi hari-hari kita dengan kebaikan, dan apabila ketika kita sudah merasa setia pada apa yang kita anggap sebagai suatu kebaikan. Jadi kebahagiaan sejati seringkali tidak ditemukan dengan menikmati barang-barang mewah atau dengan “menikmati” berhubungan dengan orang lain, tetapi seringkali kebahagiaan itu didatangkan dengan berusaha mengenal diri sendiri… berusaha menyadari apa yang sedang saya lakukan, di mana saya sedang berada, dan kemana saya pergi setelah semua ini berakhir.

Cerita dari Soebagio Pranoto

Sudah tiga minggu ini Soebagio merasa bosan dengan hari-harinya. Dia sudah tidak terlalu ingin lagi melakukan segala sesuatu yang menyenangkan, dia sudah bosan dengan itu semua. Tiga minggu terakhir ini dia hanya mengisi hari-harinya main-main kesana kemari bersama dengan teman-temannya, untuk mengusir suntuk dan menghilangkan rasa bosan. Namun semakin keras usahanya mengusir kebosanan tersebut, semakin berkeras pula kebosanan itu bermaksud menemaninya. Maka dia pun menyerah, sehingga apa yang dia lakukan hanyalah bermalas-malasan, tiduran sepanjang hari, tidak melakukan apa-apa, atau sekedar menonton TV. Namun dengan demikian, dia malah merasa gundah… karena apa yang dia lakukan hanyalah menyia-nyiakan waktunya saja.

Suatu saat dia teringat dengan sebuah teknik kuno yang dulu pernah dia pelajari dalam sebuah lokakarya sederhana, disebuah hotel sederhana. Dalam lokakarya itu, dia diberitahu bahwa meditasi, yoga, dan perenungan dapat membuat seseorang menjadi lebih tenang dan dapat berpikir lebih jernih. Dia mengingat-ingat kembali apa saja yang telah dia pelajari dalam lokakarya itu. Beberapa saat kemudian dia menyemprotkan pengharum ruangan ke beberapa sudut kamarnya, menghidupkan musik lembut yang dia senangi, dan menggelar karpet. Tidak lama kemudian dia terlihat sedang duduk bersila dengan punggung tegak, dan mata terpejam… Soebagio mencoba bermeditasi.

Di dalam duduk diamnya itu Soebagio menemukan suatu kedamaian dan ketenangan. Berbagai pikiran liar yang sebelumnya membuat dia gundah dan gelisah ketika dia sedang merasa bosan, berangsur-angsur menghilang, digantikan dengan pikiran-pikiran santai, yang membuat dia lebih dapat menerima keadaan seperti apa adanya. Jika sebelumnya dia tidak tahan dengan suasana hening, sehingga ia cenderung ingin segera beraktifitas, atau malah ingin pergi tidur, sekarang walaupun hanya dengan sebatang rokok dia sudah dapat berpikir lebih tenang, lebih dalam.

Dalam perenungannya yang mendalam itu, ketika ia mengenang masa lalu, seringkali Soebagio tersenyum kecil, atau menitikan air mata karena haru. Ia bersyukur kepada Tuhan YME atas pegalaman masa lalu yang telah banyak memberikan banyak sekali pelajaran-pelajaran berguna, yang membuat dia semakin dewasa dan bijaksana. Dalam perenungannya juga, Soebagio mulai bisa “hadir” dalam ketenangannya itu, merasakan kekinian, frekuensi keliaran pikirannya untuk terbang kesana-kemari juga sudah mulai berkurang. Dia memiliki segudang impian bahagia nan indah akan sebuah masa depan yang gemilang, dan dalam meraih impian itu, sekarang Soebagio dengan tenang memilih mencurahkan perhatiannya kepada usaha sungguh-sungguh dan telaten di masa sekarang dengan terus berharap, daripada sekedar bermalas-malas dan bermimpi kosong.

Dalam hari-hari berikutnya Soebagio telah bersahabat dekat dengan kebosanan, memberikan sebagian besar waktunya kepada kepada sahabat barunya itu. Sebagai imbalan, sahabat barunya itu merubah dirinya sedemikian rupa sehingga dia lebih banyak berguna dalam kehidupan Soebagio, memberinya lebih banyak kedamaian, kebahagiaan dan kebijaksanaan. Si “kebosanan” yang sudah menjelma menjadi si “kebahagiaan” itu sekarang dengan setia selalu menemani Soebagio dalam setiap kegiatannya, di manapun dia berada, sehingga Soebagio terlihat lebih tekun, telaten dan bersemangat. Tidak lama kemudian Soebagio dikenal oleh banyak orang sebagai orang kaya yang pemurah.

1 komentar:

  1. kita tidak akan menyadari akan keberadaan kebahagiaan dan kebosanan apabila belum mengalami hidup bersama keduanya secara seimbang. Dan alangkah lebih baik kita menyadari akan kesetiaan kebosanan ketika kita sedang bersamanya. dengan begitu kita akan menhargainya.

    BalasHapus