Rabu, 14 Januari 2009

Mbok ya ga usah di bom...

Kemarin hari saya menonton pemberitaan di TV tentang eksekusi trio pembom sari club di Kuta Bali. Dalam pemberitaan itu ditayangkan detail tentang bagaimana kronologis pemboman tersebut. Ketika diwawancarai didalam penjara, saya melihat bagaimana ketiga pelaku pemboman tersebut sangat merasa yakin bahwa apa yang telah mereka lakukan adalah benar , sebenar-benarnya. Di dalam pengamatan sepanjang pemberitaan yang saya lihat, tidak tampak sedikitpun mimik muka yang mengindikasikan adanya rasa bersalah, atau setidaknya sedikit rasa gentar karena telah mengakibatkan meninggalnya 202 orang sipil yang tidak bersalah.

Beberapa saat sebelum tidur, tiba-tiba saya teringat kembali sosok ketiga pelaku pengeboman Sari Club. Pikiran saya dipenuhi dengan berbagai pertanyaan yang saya coba untuk saya jawab sendiri dalam suasana sunyi sebelum tidur. Saya yakin sepenuhnya bahwa Amrozi, Imam Samudra, dan Muklas adalah orang-orang yang tidak dilahirkan dalam keadaan jahat. Jadi pertanyaanya mengapa mereka bisa menjadi tega melakukan hal yang luar biasa kejam dengan membunuhi orang sebanyak itu? Saya juga percaya bahwa mereka bukan orang bodoh atau gila, karena bagaimana mungkin orang bodoh atau orang gila dapat bekerja sama dengan baik dalam suatu misi besar sukses melawan hukum, tanpa ketahuan. Yang saya heran adalah bagaimana sih kok mereka sama sekali tidak merasa bahwa apa yang mereka lakukan itu adalah tindakan yang sangat gila? Apa saja sih yang mereka pikirkan? Setahu saya, bahwa di dalam suatu peperangan, menyakiti atau membunuh musuh yang sudah menyerah adalah tindakan yang sangat tidak terpuji dan bertentangan dengan perikemanusiaan, nah apalagi ini, membantai orang sipil, tidak pada suasana perang! Saya yakin setiap orang yang berbelas kasih pasti akan setuju dengan pendapat ini. Saya jadi bertanya-tanya apakah yang menjadi penyebab seorang Amrozi, Imam Samudra, dan Muklas menjadi teroris kejam, yang kebetulan berlabel Islam?

Ingatan saya melayang kembali pada saat-saat ketika saya masih anak-anak. Ketika itu saya disekolahkan di sekolah dasar Islam, sesuai dengan keinginan orang tua saya, yang menginginkan agar anaknya menjadi anak yang saleh dan beriman. Di sekolah ini saya masih ingat betul bahwa ada semacam kebanggaan yang luar biasa menjadi anak-anak yang memiliki latar belakang Islam. Waktu itu dalam pikiran seorang anak-anak,kami berpikir bahwa hanya Islam sajalah agama yang paling benar, hanya Islam saja yang dapat membawa kami menuju pada kebahagiaan dan keselamatan, bebas dari ancaman siksa api neraka, sementara agama dan kepercayaan yang lain tidak bisa melakukan hal yang sama. Bahkan dalam pikiran anak-anak itu, saya bahkan pernah berpikir bahwa membunuh orang kafir itu tidak apa-apa, membunuh orang kafir tidak akan pernah membawa dosa. Entah mengapa saya dulu kok bisa sampai berpikir seperti ini. Namun ketika saya ingat-ingat lagi, sepertinya ini adalah gejala kebanggaan ekstrim kepada agama, yang di identitaskan kepada saya waktu itu yang masih kecil, yang masih kurang bisa berpikir secara dewasa.

Jadi setelah saya pikir-pikir lagi, sekarang saya mulai tahu apa yang menjadi penyebab mengapa saya bisa berpikir ekstrim seperti ini. Pelajaran-pelajaran tentang sejarah Islam yang dipenuhi dengan pertempuran-pertempuran besar dan kemenangan-kemenangannya yang katanya adalah karena mujizat Tuhan, syarat memberikan pengertian bahwa Tuhan hanya berpihak kepada umat Islam dari pada orang-orang kafir. Pikiran kanak-kanak kami tidak dapat menalar bahwa orang-orang yang dianggap “kafir” itu adalah juga mahluk ciptaan Tuhan. Waktu itu saya masih tidak mampu bernalar bagaimana sang pencipta bisa berpihak kepada mahluknya dan memusuhi mahluk lainnya. Namun bukan pelajaran tentang perang saja yang seingat saya membuat saya yang masih kecil menjadi sedemikian fanatik, namun juga para guru pengajar kami juga turut ambil bagian dalam memperparah idealis kami.

Dalam proses belajar mengajar para guru kerap sekali membagus-baguskan Islam dengan cara yang sangat dilebih-lebihkan sehingga memberikan efek yang negatif pada pemahaman muda kami. Mereka tidak jarang mendiskriditkan agama dan tradisi lain yang tidak sejalan dengan ajaran Islam, dengan memberikan pendapat sinis mereka sendiri tentang agama lain. Mungkin ada beberapa dari anda yang berasal dari sekolah seperti sekolah saya, ingatkah anda bagaimana beberapa dari pengajar anda memberikan julukan kepada orang Kristen, yang menurut saya lebih tepat disebut olok-olok daripada julukan atau sebutan. Kejam sekali rasanya, menanamkan kebencian dan mengajarkan perpecahan kepada bocah-bocah lugu yang tidak tahu apa-apa. Saya khawatir idealisme kurang beradab dari guru pengajar seperti ini akan sangat memberikan pengaruh negatif yang sangat besar kepada pemahaman murid-murid tentang kehidupan bermasyarakat. Saya menjadi ngeri ketika membayangkan apa jadinya jika faham kekerasan menggeser konsep arif bijaksana tentang tenggang rasa, berbagi, toleransi (tepo sliro), kasih sayang, dan menghormati orang lain yang seringkali diajarkan oleh para orang tua jaman dahulu kepada generasi muda. Saya khawatir anak-anak yang salah didik tersebut bertumbuh, kemudian berjiwa militan – reaksioner , pendek pikir, dan mudah sekali terbakar dengan hasutan.

Tidaklah mudah bagi seorang yang fanatik terhadap agama agama tertentu, menerima kenyataan bahwa dunia ini terdiri dari sekian banyak hal yang berbeda, tradisi berbeda, kebiasaan berbeda, agama yang berbeda, gaya hidup dan kebiasaan berbeda, idealisme yang berbeda-beda pula. Orang Malang yang senang sekali dengan gorengan, akan sulit memahami bagaimana orang Bandung yang katanya menyukai lalapan sayur. Namun seharusnya perbedaan seperti itu adalah bagus menurut saya, karena kita bisa bebas saling bertukar resep masakan. Tapi betapa sedihnya ketika kita mendengar jika ada orang Malang mengebom warung gado-gado milik orang Bandung di Malang, hanya karena orang Bandung tersebut tidak menjual gorengan seperti yang diinginkan orang Malang itu. Apa jadinya jika semua orang di Nusantara ini memiliki cara berpikir seperti orang Malang itu tadi. Bagaimana nasib Warung Tegal, Masakan Padang, dan Sate Madura yang ada banyak di kota-kota di Indonesia?

Saya sulit mengerti bagaimana orang sampai hati melakukan pembunuhan untuk menegakan sesuatu yang mereka anggap benar. Ini bukan kasus bertahan atau masalah mempertahankan diri, namun penyerangan, ambush, pembantaian. Mengapa mereka begitu tega? Tidak adakah sedikit saja hati nurani? Tidak adakah rasa perikemanusiaan pada dirinya? Dalam kasus bom Bali, tidakkah para pelaku pengeboman tersebut merasa kasihan kepada korban-korban yang meninggal, yaitu kepada mereka yang tidak tahu menahu untuk apa mereka harus kehilangan nyawa mereka yang paling berharga? Tidakkah mereka merasa iba kepada para orang tua yang telah hancur hidupnya karena kehilangan anak-anak yang mereka besarkan dengan penuh perhatian dan kasih sayang? Sebelum mereka meledakan bom, pernahkah mereka mempertimbangkan bagaimana nasib masa depan anak-anak yatim piatu putra putri korban keganasan mereka? Pernahkah mereka merasa bersalah karena telah membuat sedemikian banyak penderitaan? Saya jengkel sekali, kok tidak peka sih mereka? kemana larinya perikemanusiaan mereka?

Sedih sekali rasanya mengetahui bahwa ada banyak orang yang setuju dan mendukung tindakan tidak terpuji yang dilakukan oleh para pelaku pengeboman. Didalam tayangan pemakaman Imam Samudera pasca eksekusi, bahkan ada beberapa orang yang terang-terangan berteriak-teriak bahwa mereka akan membalas dendam atas kematian Imam Samudera. Saya heran kenapa sih mereka tidak pernah belajar apapun dari kesusahan ini? Apakah mereka terlalu sibuk dengan urusan mereka sendiri , sibuk dengan urusan organisasi, idealisme, komunitas, ritual, misi atau apalah, sehingga kemampuan mereka untuk merasakan penderitaan orang lain menjadi hilang sama sekali.

Pernah suatu ketika saya mengendarai sekuter saya menuju Malang, dari arah belakang saya meraung-raung sebuah truk ambulance, milik pemerintah daerah Pasuruan, berkecepatan tinggi pontang-panting tunggang-langgang, seperti sapi kalap dalam karapan sapi Sumenep. Dalam hati, saya berani bertaruh bahwa pasien penumpang truk ambulance itu sudah dalam keadaan sangat gawat. Eehh… celakanya tidak banyak pengendara mobil lain yang mau memberikan jalan kepada ambulance tersebut, hanya dua dari Sembilan mobil di depan saya yang mau minggir. Ketujuh mobil sisanya tetap lenggang kankung tenang-tenang saja meskipun sirine ambulance itu menjerit sejadi-jadinya minta diberi jalan. Saya tidak yakin, bahwa para sopir kendaraan-kendaraan didepan saya itu tidak mendengar raungan sirine truk ambulance tersebut. Karena berselang lima menit setelah truk ambulance itu lewat, datang iring-iringan truk-truk Marinir yang didahului oleh land rover kecil Polisi Militer. Seingat saya suara sirine land rover tua milik marinir itu tidak senyaring truk ambulance yang sudah lewat tadi. Tapi anehnya semua mobil di jalur depan saya, sejauh mata memandang, sedan, mini van, truk reyot, wagon, atau kendaraan apapun di jalur itu, semuanya minggir?!!. Saya menduga, setelah melihat pemandangan di kaca spion mereka, para sopir berpikir bahwa dari pada kena masalah besar lebih baik mereka segera meminggirkan kendaraan mereka. Tidak habis pikir saya, gimana saudara-saudara sebangsaku ini, kok tambah lama tambah *****!!!?

Perikemanusiaan VS takut. Saudara-saudara sebangsa dan setanah air tadi, para sopir kebanyakan itu, kemana sih larinya perikemanusiaan mereka? Asalkan masalah itu terjadi pada orang lain, separah apapun keadaannya, sepanjang tidak menyangkut diri pribadi mereka (para sopir) maka…. yang terjadi biarlah terjadi, mereka tenang-tenang saja, tidak ada sedikitpun rasa peduli. Itulah kenapa hanya dua dari Sembilan mobil yang mau minggir meskipun truk ambulance itu merengek-rengek minta dikasih jalan. Tetapi perkaranya jadi lain jika yang meraung-raung itu sirine Marinir. Sopir-sopir tersebut sangat ketakutan, kelabakan dan meminggirkan kendaraan sebisa-bisanya agar mereka terhindar dari masalah.

Sepertinya saya kok jadi bertambah yakin bahwa pola berpikir yang menjangkiti para sopir ini juga menjangkiti para pengebom Sari club. Dalam kasus para pengebom Sari Club kepercayaan yang kuat ditambah doktrin-doktrin keras dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab, yang terakumulasi sejak lama dapat mengganggu pertimbangan-pertimbangan sehat para pengebom tersebut. Ketakutan, dan kefanatikan telah mengusir tenggang rasa, perikemanusiaan dan rasa iba, dari hati para pengebom Sari club. Takut akan neraka dan fanatik akan agama… kemudian untuk semua itu pembantaian manusia mereka benarkan? Bukankah itu sungguh suatu dosa yang sangat besar? Mana mungkin ada Tuhan atau Dewa yang menganjurkan pembunuhan serupa Bom Bali tersebut. Setahu saya hanya Ares yang gemar sekali dengan pembantaian.
Ketakutan dan doktrin yang kuat dapat memberikan efek yang luar biasa pada mental seseorang. Menurut kakak Amrozi, ketika Amrozi masih di Indonesia menjadi seorang mekanik motor, dia adalah pribadi yang biasa-biasa saja, tidak tampak adanya indikasi idealisme ekstrim pada dirinya. Hingga suatu saat Amrozi pergi ke Malaysia untuk mengadu nasib. Di sana dia bertemu dengan kakaknya, Mukhlas. Nah sejak saat itulah mulai tampak adanya perubahan pada diri Amrozi, pola pikir dan idealismenya berubah menjadi tambah radikal. Begitu kata kakak Amrozi.

Namun bagaimana dengan hukuman mati yang diterapkan pada mereka? Apakah itu akan meyelesaikan lingkaran terorisme yang mungkin akan terjadi lagi? Saya pikir bahwa hukuman mati bukanlah jalan yang paling beradab untuk diberlakukan kepada mereka. Sudah tidak jamannya lagi diterapkan hukum balas dendam ala Hamurabi. Sekarang ini tidak lagi beradab kiranya jika memperlakukan hukuman mata balas mata, nyawa balas nyawa, itu sama sekali tidak berperikemanusiaan. Semua orang setuju bahwa tujuan hukuman adalah menyadarkan seseorang akan kesalahannya. Hukum berfungsi untuk menghilangkan kebiadaban yang sedang menjangkiti seorang manusia, bukan menghilangkan manusianya. Hukum seharusya berguna untuk memberikan pelajaran bagi para kriminal agar mereka jera. Nah hukuman mati tidak termasuk hukum yang dimaksud, karena hukuman mati sifatnya balas dendam dan membasmi. Tidak baik jika kriminal dipandang sebagai hama, kemudian dibasmi. Jika kita memperlakukan hukuman macam itu maka kita juga biadab, maka kita sama brengseknya dengan para kriminal yang bersalah tersebut.

Hidup adalah hak setiap orang di muka bumi ini, dan hak asasi manusia harus dijunjung tinggi di atas semua hukum yang berlaku di republik ini dan di seluruh dunia. Biarkanlah para pelaku kesalahan tetap memiliki sebuah peluang untuk menyadari kesalahan yang mereka perbuat, mereka berhak mendapatkannya. Tetapi lantas bagaimana dengan keluarga para korban bom Bali, tidakkah mereka juga patut mendapatkan keadilan? Bukankah eksekusi dapat menghadirkan kembali keadilan yang telah lama mereka dambakan? Sungguh mengharukan bahwa beberapa keluarga korban dari pihak Australia tidak menyetujui dengan adanya rencana hukuman mati tersebut. Mereka berpendapat bahwa hukuman mati tidak akan merubah apapun. Bahkan yang lebih mengharukan lagi adalah keluarga korban dari pihak Bali, pengikut paguyuban Anand Ashram. Pasca eksekusi mereka malah mendoakan agar arwah para pembunuh keluarga mereka dapat diterima oleh Tuhan yang maha kuasa disisiNya. Benar-benar suatu ketulusan yang luar biasa, suatu kebesaran hati yang sangat langka! Mereka menerima musibah dengan lapang dada. Meskipun hancur perasaan mereka, tetapi perikemanusiaan tetap ada dan mereka junjung tinggi. Semoga budi pekerti mereka dapat menjadi contoh luhur para keluarga korban yang lain.

Sejahat dan sekeji apapun, mereka tetap manusia dan kita harus berkeyakinan bahwa mereka pasti bisa berubah. Ya saya setuju bahwa mereka harus dipenjara, dan memang orang jahat seperti mereka tidak boleh dibiarkan berkeliaran diantara orang baik-baik, karena dikhawatirkan kebiadaban mereka dapat menular. Itulah fungsi penjara, lembaga pemasyarakatan, yaitu suatu lembaga yang bertugas mengajari pelaku kejahatan supaya mereka bisa menjadi orang baik-baik didalam masyarakat, sekeluar mereka dari penjara. Bagaimana jikalau ada seorang penjahat yang sama sekali tidak bisa berubah? Ya biarkan saja dia tetap hidup dalam penjara sambil terus dibimbing setiap hari. Penjara melindungi masyarakat dari para penjahat seperti itu, dan seharusnya bisa mencegah hukuman mati bagi pelanggar hukum berat. Saya teringat akan pesan yang disampaikan oleh seseorang kepada saya bahwa, “setiap orang pasti berguna dalam hidup ini, selama kita tahu apa yang tepat utuk mereka,” katanya. Dalam kasus bom Bali,saya yakin memberikan hukuman mati hanya akan melahirkan imam samudra-imam samudra baru. Sistem penjara pun harus kita perhatikan. Dalam penjara, seseorang seharusnya diberi perhatian yang lebih sebagaimana layakya manusia, bukan diperlakukan seperti kriminal ataupun sampah masarakat. Pola pikir kita terhadap memeberikan hukuman harus diubah, dari “menghukum dan membuat jera mereka” menjadi “memanusiakan dan memberikan kasih sayang kepada mereka”. Apakah kita sudah bisa mewujudkan itu? Ah…saya bawa dulu dalam tidur dan mimpi saya. wassalam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar