Minggu, 11 Januari 2009

Beladiri, Martial Art, Selbsverteidigung (bagian 1)


Ada yang ikut institusi beladiri untuk hanya sekedar untuk mengisi waktu, ada yang karena di suruh oleh orang tua, ada yang sekedar untuk gaya-gaya saja, ada pula yang sekaedar ingin cari sensasi baru… kelompok ini saya sebut kaum oportunis, jumlahnya melimpah. Namun demikian ada juga beberapa orang yang bergabung dengan institusi beladiri untuk serius, berfokus dan benar-benar ingin mempelajari teknik beladiri dengan segala macam atributnya, kelompok ini saya sebut dengan kaum idealis.

Orang-orang dari kelompok terakhir ini seringkali terlihat mewarnai kehidupan mereka dengan identitas-identitas beladiri. Bagi mereka, ada suatu kebanggaan tersendiri jika mereka keluar rumah dengan memakai jaket dengan tulisan Karate, Tae Kwon Do, atau Capoeira… di punggung atau dada jaket mereka. Orang-orang seperti ini selalu berpikir dan merasa bahwa mereka satu tingkatan lebih pandai dari pada orang kebanyakan dalam hal berkelahi. Kaum idealis mendedikasikan hidupnya dengan membiarkan dirinya “direnggut” oleh beladiri, artinya mereka rela bersakit-sakit, memberikan waktu mereka, dan (seperti saya bilang tadi) membiarkan diri mereka diwarnai oleh beladiri.

Namun dalam penilaian saya, kaum idealis masih terbagi menjadi dua golongan lagi. Yang pertama adalah golongan Martial Artist, yang mudah dikenali dengan kefanatikannya yang sangat kental, jumlahnya jarang. Dan yang kedua adalah golongan Fighter, yang mudah dikenali dari sikap pembosannya, pemberontaknya, dan selalu berinisiatif untuk berimprovisasi, jumlahnya sangat sedikit. Golongan yang pertama, kaum Martial artist ini biasanya terdiri dari orang-orang cerdas, memiliki disiplin tinggi, dan seringkali mereka adalah organisator yang ulet dan handal. Mereka sangat setia dengan satu jenis beladiri dan teknik-tekniknya. Dalam tataran awal-awal ketika mereka masih baru dengan beladirinya masing-masing, mereka kelihatan menonjol dalam kecepatan mempelajari suatu teknik, kepatuhan pada peraturan dan disiplin, serta kerelaan melayani senior mereka. Jadi mereka akan senang jika disuruh-suruh oleh senior mereka membantu tugas mengatur organisasi. Dalam segala hal mereka sangat sempurna dan meyakinkan kecuali dalam satu hal, yaitu kemampuan bertarung mereka yang justru dipertanyakan.

Umum sekali diketahui bahwa kaum Martial Artist seringkali memenangkan dan menjuarai pertandingan-pertandingan yang diadakan oleh institusi mereka masing-masing. Namun ini bukanlah berarti bahwa mereka pandai bertarung, dalam pengertian bahwa mereka mereka pandai berkelahi sungguhan. Dalam praktek latihan, mereka tampak sangat menguasai teknik pukulan, tendangan, bantingan dan bahkan kuncian. Harus dimengerti bahwa terdapat perbadaan yang sangat mencolok antara perkelahian nyata dengan perkelahian simulasi yang disajikan dalam sebuah pertandingan kebanyakan sekolah beladiri tradisional. Biasanya di dalam sebuah pertandingan yang diadakan oleh institusi beladiri tradisional, telah diberikan begitu banyak peraturan untuk menghindarkan praktisinya dari cidera. Ok memang pertandingan harus ada aturan, saya tahu. Namun aturan-aturan tersebut seringkali membuat praktisi bertanding sangat terbatas pada masing-masing style yang telah ditentukan, cenderung mengejar skor, alih-alih menundukan lawan dengan variabel teknik hingga lawan tidak berkutik alias menyerah. Jadi mereka cenderung otot-ototan memukul, menendang, membanting, mengunci, atau adu keakuratan pukulan dari pada berpikir dan berstrategi bagaimana membuat lawan roboh dan menguasainya.

Kaum Martial Artist cenderung tenggelam dalam fantasi-fantasi yangdi warisi dari azas-azas institusi beladiri mereka masing-masing. Cara berkelahi mereka cenderung kelihatan tidak rasional, kental dengan warna beladiri tradisional, dengan ditandai sering munculnya style dan acrobat dalam setiap kali serangan. Tentu saja mereka berpikir dan pakai logika, tentu saja mereka sudah berusaha keras dan ulet, dan ini sangat patut dihargai, hanya saja gaya bertarung mereka kurang sejalan dengan mekanisme perkelahian sesungguhnya. Jika anda praktisi beladiri, mari berpikir sejenak dengan kepala dingin… adakah korelasi antara style dengan street fighting? Adakah korelasi antara salto, meroda, dan tendangan putar dengan perkelahian saling bunuh?

Lebih disayangkan lagi adalah banyaknya kaum Martial Artist yang sama sekali tidak menyadari bahwa apa yang mereka lakukan adalah benar-benar sudah keluar dari konteks tetek bengek tentang pembelaan diri. Jadi institusi beladiri yang mereka ikuti cenderung menggiring para praktisi kedalam satu olah mental, kedalam satu disiplin serta latihan kesehatan jiwa dan raga, dengan agak mengesampingkan realitas perkelahian. Ada beberapa jenis institusi beladiri yang menggiring praktisinya ke dalam suatu style tertentu sedemikian rupa, sehingga menjadi berpikir bahwa apa yang mereka lakukan adalah sebagai cara unik dan brilian untuk memenangkan perkelahian. Jadi pada praktik latihannya, praktisi dituntut untuk melakukan semua teknik harus dengan lembut, halus, serta mengalir. Lebih-lebih, para praktisi juga diarahkan untuk memanfaat energi lain selain energi otot dalam usaha pembelaan diri. Tidak ada sisi negatif dalam metode ini, namun saya akan lebih berpikir bahwa ini cenderung termasuk kedalam disiplin olahraga senam daripada teknik beladiri. Saya tidak berpikir bahwa kelembutan, kehalusan dan mengalir akan banyak membantu kita dalam keadaan darurat. Jadi saya lebih berpikir bahwa kebrutalan dan kekejaman yang akan lebih banyak menolong kita dalam situasi darurat (dalam keadaan terpaksa, membunuh atau dibunuh). Memang mekanismenya seperti itu, mau gimana lagi.

Golongan kedua dalam kaum Idealis adalah golongan Fighter. Golongan Fighter juga seringkali memiliki idealis yang kuat, sekuat idealisme kaum Martial Artist. Perbedaannya adalah jika kaum Martial Artist mencurahkan fanatisme mereka pada institusi dan teknik beladiri tertentu, sedangkan Fighter cenderung lebih menghormati realitas perkelahian nyata. Dalam tataran awal, ketika masih baru dalam suatu institusi beladiri, Fighter cenderung sering berperilaku berlebihan, seperti kelebihan energi, suka melakukan improvisasi sendiri, dan tidak menunjukan ke tertarikan pada aturan baku, jenjang, senioritas, tradisi serta status quo apapun bentuknya. Alih-alih berfokus pada satu institusi beladiri, Fighter cenderung melirik kanan kiri, mencoba ikut institusi beladiri lain, atau browsing di Internet, down load video teknik beladiri yang dia inginkan, kemudian ia improvisasi sendiri. Tujuan akhir seorang Fighter adalah selamat dari suatu konflik atau muncul sebagai pemenang dalam suatu pertandingan full body contact. Jika seorang Fighter memiliki style pemukul atau penendang, maka pasti badannya kuat, dan berlatih gila-gila an. Dan jika seorang Fighter memiliki style grappling, maka koleksi buku dan videonya pasti banyak.

Agak melenceng sedikit…………

Ada satu golongan atau tipe orang yang saya sebut dengan kaum Warrior, jumlahnya langka. Jika golongan-golongan dan kaum-kaum sebelumnya dibentuk atau terbentuk oleh suatu latihan tertentu, sehingga mereka unggul dalam perkara beladiri… maka kelompok yang saya sebut ini memiliki keunggulan tersebut diperoleh dari pemberian Tuhan. Jadi jika pebeladiri apapun bentuknya… menjadi seperti itu karena dibentuk atau dijadikan, maka para warrior menjadi seperti itu sejak mereka dilahirkan.

Jika kita membicarakan beladiri, maka seringkali kita membicarakan teknik beladiri tangan kosong dengan segala teknik tetek bengeknya. Namun jika kita membicarakan konflik serius, maka seringkali kita membicarakan keberanian, kenekatan, kekejaman, kebrutalan, multilasi dan senjata tajam. Ibarat tidak ada minyak mentega pun jadi… demikian pula seorang warrior, mereka itu seringkali tidak pernah mengenal beladiri atau tidak berminat pada beladiri, sehingga kemampuan bertarung mereka sangat dipertanyakan. Namun jangan salah, justru karena mereka lemah itulah mereka tidak segan menggunakan palu atau obeng untuk membunuh lawannya. Mereka tidak akan segan meremukan kepala lawannya dengan batu, atau melubangi jantung lawannya dengan garpu. Jadi warrior unggul karena kekejamannya. Seringkali diceritakan bahwa gampang sekali mereka menjadi dendam kesumat pada orang yang mengganggu mereka dan mengejar musuhnya itu dengan celurit, kemanapun, sejauh apapun musuh itu pergi.

Waduh kalau sudah kayak gini bisa runyam dong, beladiri tidak berdaya dengan hal-hal kayak gini, iya toh? Makanya bagi praktisi beladiri sebaiknya kita menjaga sikap, jangan pernah berpikir bahwa teknik yang kita latih pasti akan menyelamatkan kita, sehingga kita lupa daratan. Berbuat baiklah kepada semua orang, agar tidak terjadi konflik. Mungkin ada sebagian dari orang yang kebetulan membaca ini yang tidak setuju dengan pendapat saya, dan berkeras optimis bahwa teknik atau jurus yang mereka miliki sangat ampuh, untuk melawan ancaman apapun. Ya sudah terserah, sak karepmu. Tapi bagi saya pribadi, jika ini menyangkut palu, obeng, garpu atau celurit… saya pesimis aja deh sama teknik beladiri yang saya miliki… mendingan saya pakai Stunt Gun atau Red Pepper Spry aja biar slamet. Atau pakai teknik silat… silat… silat… silaturahmi. Dijamin ampuh.

Bayu Sandi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar