Suatu malam yang larut, dalam perjalanan pulang dari rumah teman, sehabis memukuli wajah Eng habis-habisan di sana (berusaha mengajari seorang teman dekat seorang praktisi Tae Kwon Do, tentang mekanisme suatu perkelahian bebas, full body contact), saya melewati depan segerombol plastik terpal warna oranye bekas cover bak truk yang ditata rapih di pinggir jalan. Saya lihat ada sebuah kepala keluar dari plastik itu dengan wajah membelakangi saya. Disebelahnya Ada sebuah penjual masakan Cina gerobak (Jawa mi duk), yang saya lalui dengan lekas. Kemudian muncul satu pikiran tertentu semacam kesadaran bahwa saya akan merasa bersalah jika saya mengabaikan atau tidak tergerak untuk mengecek segerombol plastik itu.
Sesudah sekitar limapuluh meter melewati terpal itu, saya baru memutuskan untuk memutar-balikan sekuter saya, berjalan pelan-pelan menghampirinya. Memang hanya kelihatan muncul satu kepala dari dalam terpal itu, namun melihat ukurannya, sepertinya terpal itu berisi sekitar tiga orang gembel. Maka segera saya memesan tiga nasi goreng untuk mereka (para gembel itu) kepada penjual mi duk tersebut. Namun ketika saya sedang memesan, saya juga sempat melihat seorang wanita tua diseberang jalan, yang kalau dilihat dari pakaiannya sepertinya dia mengalami gangguan jiwa alias gila. Maka saya pesan empat nasi goreng.
Setelah nasi-nasi goreng itu masak, saya membawa tiga bungkus nasi goreng mendekati segerumbul plastik terpal yang terdapat orang-orang malang didalamnya. Saya bangunkan laki-laki tersebut dengan menggoncang-goncangkan badannya, sulitnya minta ampun, mungkin karena dia sangat kelelahan. Begitu dia terbangun, dia sangat kaget dan takut… namun saya hanya berusaha tersenyum ramah dan mendekatkan tiga bugkus nasi goreng ke wajahnya, supaya dia bisa membaui aroma nasi goreng tersebut. Beberapa saat setelah dia mengetahui maksud saya, dia segera membangungkan dua orang lagi yang ada di dalam terpal memilukan itu (ternyata benar sekali tebakan saya bahwa ada tiga orang didalamya). Betapa saya terkejut karena salah seorang diantara mereka adalah seorang bocah berusia sekitar sepuluh tahunan. Bocah sepuluh Tahun! Menjadi nomaden, mengembara tidak punya rumah dengan bapak-ibunya! Kasihan sekali saya.
Setelah tiga nasi goreng saya berikan kepada para tuna wisma tersebut, saya beralih menuju nenek tua gila yang ada di seberang jalan dan memberikan sebungkus nasi goreng padanya. Kondisinya memilukan, ada sebuah luka di kakinya, bau badannya pesing pekat sampai membuat saya pusing bukan main. Namun tentu saja saya tidak tega menutup hidung saya di depannya. Saya berikan sebungkus nasi goreng itu dan meninggalkan dia.
Saya ulangi lagi hal itu beberapa kali, hingga beberapa hari kedepan, hingga mereka tidak tampak lagi keberadaannya di pinggir jalan.
Suatu saat saya ajak Okky, seorang sahabat muda, memberikan pangsit mie kepada mereka untuk mengajarinya konsep berbagi kepada orang-orang miskin. Kadang-kadang saya memperhatikan gembel-gembel dan nenek gila itu dari jarak jauh. Saya heran baik orang-orang gembel ataupun orang gila itu tidak kelihatan sedang mengemis atau mau mengemis. Jauh lebih heran lagi ketika saya tidak menemukan salah seorangpun dari puluhan orang yang berlalu-lalang di depan orang-orang malang itu, tergerak hatinya untuk memberikan sedikit sesuatu yang mereka miliki, meskipun orang-orang malang itu tidak meminta. Saya sangat heran, kok tidak peka sih mereka?
Manusia cenderung berbuat baik hanya kepada orang-orang yang mereka kenal, orang dekat mereka, serta sanak dan famili. Sedemikian tidak pekanya sehingga mereka tidak dapat mengenali penderitaan orang-orang yang tepat di depan wajah mereka. Kebanyakan orang memiliki cukup dana untuk dibelanjakan pada barang-barang tersier (hair spray mahal, parfum mahal, cat rambut mahal) untuk membuat diri mereka sendiri tampak wah, namun banyak dari mereka kemudian merasa tiba-tiba tidak cukup punya uang jika mereka diharuskan untuk berbagi dengan orang malang merana yang membutuhkan kasih sayang.
Saudara-saudara saya sekalian, sisakanlah beberapa ribu rupiah dari dompet anda, jangan habiskan semuanya untuk anda sendiri. Jadilah peka, jadilah manusia berjiwa sosial, pikirkan mereka para nomaden di pinggir jalan, kasihanilah orang-orang malang yang tidak memiliki apapun kecuali hanya badan mereka yang bau. Berikan sebagian dari beberapa ribu rupiah anda kepada mereka, karena hanya kepada anda mereka berharap belas kasih. Tidak ada yang memperdulikan nasib mereka, Negara terlalu sibuk dengan segala tetek bengek politik daripada untuk mengurusi para gembel. Orang-orang yang mengaku beragama penyembah Tuhan terlalu sibuk mengumpulkan uang untuk biaya ziarah ke Mekkah, Jerusalem, atau ke India. Pemimpin agama dan ulama yang seharusnya lebih mengerti tentang perikemanusiaan, lebih memilih mengalokasikan dananya pada kemegahan rumah ibadah, yayasan, partai, umat mereka sendiri yang miskin… tidak ada yang peduli pada gobel dan gembel.
Berikan kasih sayang kita pada para nomaden yang malang itu, kita pasti bisa, dan gampang sekali. Just do it, turun ke jalan beri mereka makan. Jangan menunggu anda menjadi orang kuat nanti di kemudian hari, menjadi orang kaya, berpengaruh atas kebijakan di pemerintahan, tetek bengek… jangan seperti itu, jangan menunggu saat yang paling tepat untuk menolong. Sekarang adalah saat yang paling tepat untuk menolong mereka. Jika ada banyak orang yang berlaku seperti anda, tidak akan ada lagi orang yang kelaparan.
Semoga Tuhan melindungi mereka para nomaden malang itu.
saya setuju sekali,,,,,,,
BalasHapus