Sabtu, 31 Januari 2009

Pegawai Negeri VS Pegawai Swasta.

Beberapa waktu yang lalu saya pergi ke salah satu Bank swasta untuk menyetorkan sejumlah uang, guna keperluan men-transfer. Sepulangnya dari bank swasta tersebut saya langsung pergi ke bank pemerintah untuk menabung. Setelah beberapa saat saya duduk di sebuah bangku, di sudut ruangan bank pemerintah itu, suasana tidak nyaman mulai terasa. Kaki saya berkali-kali saya digigit nyamuk dalam penantian saya menunggu antrean. Jika dibandingkan dengan suasana ruangan bank milik swasta yang selalu tampak modern dan ber-AC, maka suasana dan tata letak ruangan bank milik pemerintah cenderung serasa lebih kuno, lembab dan panas. Saya seakan-akan saya dibawa kembali oleh mesin waktu kepada suasana kantor di era tahun 80-an. Pada waktu saya masih kecil, saya sering diajak ibu untuk menabung di bank pemerintah. Di dalam ruangan bank itu saya melihat sebuah pelapis dinding (wallpaper) yang berlatar belakang sebuah pemandangan hutan lumut bersalju, yang pada waktu itu terlihat apik dan indah.

Ironisnya setelah belasan tahun berlalu, yaitu pada masa sekarang ini wallpaper itu masih bisa saya lihat, tidak pernah diganti, kelihatan kusam, berjamur disana-sini karena dimakan usia.
Dalam hal melayani customer juga tampak suatu perbedaan yang mencolok. Karyawan bank swasta selalu melayani customer mereka dengan senyuman yang ramah di bibir, sementara pegawai bank pemerintah tampak melayani customer dengan muka dingin, seakan-akan tidak bersahabat. Jika karyawan bank swasta terlihat sangat peduli kepada para customer mereka, maka pegawai bank pemerintah cenderung terlihat lebih peduli kepada dirinya sendiri, misalnya ketika customer sedang membicarakan sesuatu, pandangan mata pegawai bank tersebut seringkali tertuju kepada sesuatu yang ada di meja kerja mereka dari pada menatap customer yang sedang berbicara dengan mereka.

Satu tahun yang lalu saya harus menjalani terapi fisik berulang-ulang, untuk membuat normal kembali cara berjalan saya pasca retak sendi lutut akibat suatu kecelakaan di tempat kerja. Saya datang ke Rumah Sakit Umum dengan terpincang-pincang menuju ke bagian informasi untuk menanyakan tempat yang harus saya datangi sesuai dengan petunjuk pada surat yang dibuat oleh dokter perusahaan. Sebelum bertanya saya harus menunggu beberapa saat, karena penjaga lobi bagian informasi tersebut sedang bergurau bersama seorang temannya. Sambil membawa sepotong kue tart ditangan mereka masing-masing dari mereka bergurau seru, padahal mereka sedang bertugas, tidak sedang beristirahat. Setelah membersihkan mulutnya dengan tisu, penjaga lobi tersebut memandang saya sekilas dengan pandangan bosan, kemudian dengan setengah mengabaikan, tanpa memandang ke arah saya, dia menanyakan apa keperluan saya. Maka saya bilang bahwa saya ingin diberi tahu letak bagian terapi fisik. Dengan tanpa memandang saya lagi, pura-pura sedang sibuk, dia menunjukan tempat terapi fisik itu berada. Kemudian saya pergi meninggalkan lobi itu sambil mengucapkan terimakasih, tapi dengan persaan agak jengkel.

Beberapa saat setelah saya menemukan bagian itu, saya bertemu dengan seorang dokter ortopedi yang berwajah biasa, namun tidak banyak bicara. Dokter itu mengangkat kaki kiri saya, membengkokannya kesana kemari, sembari bertanya “sakit?”, begitu terus hingga berulang-ulang. Beberapa lama kemudian, setelah memeriksa kaki saya, dokter itu memberi saya secarik surat yang tidak diberi amplop, menyuruh saya ke sebuah kamar dibalik ruangan dokter itu. Ternyata saya diarahkan memasuki sebuah ruangan laser. Di dalam ruangan itu saya bertemu dengan seorang pria tanggung paruh baya yang berambut jarang, orangnya ramah tapi kelihatan mengantuk, seperti habis melakukan ronda semalam suntuk. Orang itu menggenggam semacam alat yang bentuknya mirip seperti handy talky, yang dihubungkan dengan semacam kabel optik kesebuah mesin yang berbentuk seperti alat penyedot debu. Dia menusuk-nusukkan alat tersebut ke persendian lutut saya, masing-masing titik sekitar lima menit-an. Karena orang tersebut kelihatan sedang sibuk berkonsentrasi dengan pekerjaannya, maka saya berbaring diam tidak berkata apa-apa hingga ketiduran. Beberapa saat kemudian saya dibangunkan dengan rasa ngilu di lutut saya. Saya kaget melihat apa yang saya saksikan, orang paruh baya tersebut tertidur dengan posisi terduduk sambil mendengkur, kepalanya miring kearah kiri, sementara alat laser yang dia genggam itu sudah menempel hingga sekian lama pada titik yang sama dikaki saya, sehingga menimbulkan rasa linu. Saya goyangkan kaki saya sedemikian rupa hingga orang itu terbangun, memandang saya dengan tersipu malu, kemudian melanjutkan pekerjaannya lagi.

Beberapa saat kemudian saya menuju ke ruang terapi sinar infra merah, sesuai petunjuk kedua yang ada pada surat dokter tersebut. Saya tiba pada sebuah ruang besar dengan banyak kabin-kabin yang dibatasi oleh kelambu. Saya menuju ke ujung sebuah ruangan dimana ada dua orang wanita setengah baya berjilbab duduk disebuah kursi, sedang seru ngerumpi. Ibu-ibu ini murah senyum memakai baju putih-putih ala paramedis, dengan sebuah pengenal di dada sebelah kanan masing-masing. Saya berikan surat dokter tersebut pada salah seorang diantaranya, setelah membacanya beberapa saat, ibu itu mempersilahkan saya tidur di sebuah ranjang disalah satu bilik. Di situ kaki saya ditata sedemikian rupa, diberi sebuah lampu merah diatasnya, kemudian dinyalakan, rasanya hangat-hangat panas. Setelah memasang lampu itu, ibu tadi segera pergi untuk melanjutkan merumpi dengan temannya. Lagi-lagi saya ketiduran. Beberapa saat kemudian, saya terbangun, dari arloji saya tahu bahwa saya tadi sudah tertidur hampir setengah jam, kaki saya tidak merasakan panas lagi, cahaya warna merah yang tadi menerpa kaki saya sekarang sudah tidak tampak lagi. Saya tahu, rupanya lampu itu memakai timer, distel dalam waktu tertentu sehingga bisa mati sendiri. Namun lucunya adalah wanita itu tidak tahu kalau lampu infra merah itu sudah mati, dan saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Maka saya diam saja di situ, lama sekali, hingga wanita itu masuk, tersenyum dan berkata “oh lampunya sudah mati, berarti sudah selesai terapinya”. Aduh jengkel sekali saya.

Beberapa saat yang lalu saya diminta untuk memberikan bantuan mengajar beladiri praktis di Polwil. Saya membantu seorang kawan untuk memberikan teknik kuncian kepada para samapta, yang waktu itu akan ditugaskan untuk memelihara keamanan di Sampang – Madura, dalam rangka pilkada ulang. Sebelumnya saya sudah sangat grogi, karena berpikir bahwa terdapat sebuah aturan dan etika yang ketat dalam kepolisian. Ternyata kedisiplinan mereka tidak seketat seperti yang saya pikirkan sebelumnya. Tolok ukur saya adalah satpam perusahaan di pabrik tempat saya bekerja dulu yang kelihatan sangat disiplin, takut dengan atasan, dan berperilaku sesuai dengan etika seperti yang diharuskan. Namun pada kepolisian ini saya menyaksikan suasana yang sangat lain. Bahkan dalam sebuah apel, beberapa orang dibagian paling belakang barisan terlihat ketawa-ketiwi, saling bergurau, bahkan dengan rekan mereka yang memiliki pangkat lebih tinggi. Saya tidak melihat adanya sebuah disiplin tinggi seperti halnya yang saya lihat pada satpam perusahaan.

Kebiasaan nyambi berjualan pakaian juga tidak pernah hilang pada ibu-ibu pegawai negeri. Dulu saya pernah main-main ke sebuah perpustakaan Malang yang waktu itu tidak lama baru saja dibangun ulang. Saya melihat beberapa orang ibu pegawai negeri berseragam, menggelar pakain dagangan pakaian wanita diatas meja, mereka saling membicarakan dagangan mereka, cuek dengan orang lain yang berlalu lalang disekitar mereka, tidak ada sedikitpun rasa malu. Pemandangan yang sama juga saya temui di sebuah kampus negeri di Kota Malang, ketika pada suautu waktu saya mencoba untuk mendaftarkan diri untuk berkuliah di sana. Saya melihat di sebuah kantor TU, seorang rektor wanita tua berkacamata tebal yang harus saya temui, terlihat sedang melihat-lihat baju dangan teliti, kemudian menawarkan baju itu pada salah satu rekannya. Janggal sekali, berdagang pakaian di kantor TU.

Ayah saya adalah pegawai negeri sipil. Ketika saya masih kecil, saya sering dibawa oleh ayah saya ke tempat kerja beliau. Ketika ayah saya masih aktif bekerja, belum pensiun, pada musim liburan sekolah beliau mengajak saya main-main ke kantor beliau. Di sana saya menyaksikan sebuah pemandangan yang menurut orang kebanyakan memalukan. Para pegawai di sana hanya mondar-mandir, mengobrolkan obrolan selain pekerjaan bersama temannya, tidak pada jam istirahat. Saya beranggapan bahwa sepertinya para pegawai negeri disana sangat kekurangan pekerjaan. Indikasinya adalah seringnya mereka berkumpul, kongkow-kongkow di lapangan olah raga, tempat parkir, dan kantin kantor, meskipun tidak pada jam-jam istirahat. Saya berkesempatan untuk menguping topik pembicaraan mereka. Kelihatannya sih serius, tapi mereka hanya membicarakan hal-hal remeh temeh sehubungan dengan makelaran motor, dukun pijat yang paling oke, tempat rekreasi yang bagus, harga tanah di suatu tempat, cerita-cerita perjalanan yang pernah dilakukan, hingga rencana buka usaha dagang bersama. Payah.

Suatu ketika saya pernah ada urusan dengan taman rekreasi kota sehubungan dengan penitipan satwa langka di tempat itu. Taman rekreasi kota adalah suatu tempat rekreasi yang dikelola oleh pemerintah kota, yang sarat dengan binatang-binatang, jadi semacam kebun binatang kecil. Dalam sebuah urusan itu saya berkesempatan untuk mengenal beberapa orang di sana, dan mengetahui kebiasaan pekerjaan mereka. Kesan pertama adalah kacau balau, kantornya kotor, seperti tidak pernah dipel atau bahkan disapu. Terdapat bekas lumpur ban motor yang mengering yang sangat kelihatan mencolok di atas lantai tegel kantor itu. Jika kantor tempat tinggal manusia saja seperti itu, maka bisa dibayangkan seperti apa kandang hewan yang mereka pelihara. Saya melihat kandang landak yang tidak dibersihkan sehingga bau pesing menyeruak dari situ. Kandang ayam hutan yang ditaruh berdekatan dengan kandang burung sejenis elang, padahal mereka itu kan musuh bebuyutan, jelas ayam itu merasa terintimidasi. Beberapa kali saya datang kesitu, saya selalu melihat bpk.******* selalu datang terlambat, terburu-buru, namun tidak ada satupun yang berani menegor. Orangnya juga tidak tahu malu. Payah.

Perbedaan yang mencolok antara pegawai pemerintah dengan pegawai swasta adalah dari tingkat keseriusannya. Pegawai swasta sering terlihat sedang serius membicarakan masalah kantor dengan temannya. Mereka lebih agresif, lebih cepat, lebih efisien, lebih ingin tahu, dan lebih enerjik. Berkebalikan dengan pegawai swasta, pegawai negeri lebih terlihat ngglenyah-ngglenyoh, klular-klulur, dan nglemer… tidak tahu bahasa Indonesianya apa, tapi mendekati malas dan bersantai-santai. Pegawai negeri hanya sekedar hadir di kantor, tulis-tulis, kemudian buru-buru pulang. Pikiran mereka selalu ada di mana-mana selain di tempat kerja, maunya ngobyek atau belanja saja. Jika sudah seperti ini lantas bagaimana mereka bisa maju, lha wong seringkali pimpinan mereka juga santai-santai, menyerahkan banyak urusan pada bawahan mereka, sementara anak buahnya hanya bekerja setengah-setengah, bekerja seminimal mungkin asal tidak menimbulkan masalah dan dipecat. Bagaimana mereka bisa melayani rakyat dengan baik jika perilaku mereka seperti juragan.

Wis masalahnya kompleks betul. Masih belum menjadi kapasitas saya untuk memberikan ide tentang jalan keluar dari permasalahan super besar yang membudaya secara turun temurun semacam ini. Namun ada baiknya jika gaji pegawai negeri dinaikan, tunjangan sangat diperhatikan, namun jumlah pegawainya di kurangi hingga dinilai cukup proporsional dengan tingkat kesulitan pekerjaan mereka. Setiap keteledoran selalu diganjar sangat berat, tidak ada penurunan pangkat, setiap kesalahan berat selalu berakibat pada pemecatan, hilang semua gaji dan pensiun. Setiap pegawai yang berprestasi harus di hargai kerja kerasnya, dia harus ditempatkan sebagai pemimpin dengan harapan bahwa kedisiplinannya itu dapat mencambuki etos kerja para pegawai pemerintah yang terkenal kempos. Pegawai yang disiplin ini harus digaji sangat tinggi, sesuai dengan tingkat stress kerja yang dia tanggung. Peraturan kepegawaian harus dirubah total. Setiap orang harus didoktrin bahwa mereka bukan bukan seorang priyayi seperti pegawai negeri kontemporer jaman penjajahan, namun mereka adalah abdi negara, abdi rakyat. Sehingga dengan demikian tidak ada lagi pegawai negeri yang sembrono, yang hidup bersantai-santai mengandalkan pensiun.

Saya berharap yang terbaik untuk mereka.

Jumat, 30 Januari 2009

Menghormati kehidupan

Sayangi kambing-kambing itu wahai teman, perlakukan dia dengan belas kasihmu
Mereka mahluk hidup kawan, mendambakan kedamaian
Mereka sekedar ingin menghirup segarnya nafas kehidupan
Kamu seorang manusia, seorang gembala, pasti memiliki kasih sayang
Jauh di di dalam lubuk hatimu, kamu adalah manusia berperasaan
Jangan biarkan yang satu itu hilang
Hormati sang Pencipta dengan kasih sayangmu
Hormati ciptaannya dengan kasih sayangmu
Dengan menghormati binatang, hatimu akan semakin lembut
Dan kelembutan hatimu itu akan menjadi berkah untuk mereka
Percayalah kawan…


Sembelihlah kambing itu teman, makanlah dia
Dagingnya akan menyehatkan badanmu
Jangan engkau pedulikan para vegetarian brengsek itu teman
Mereka terlalu lemah, terlalu bodoh
Mereka tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan
Kasih sayanglah, belas kasihanlah… pah!
Lagian Tuhan kan membolehkan kita memakan binatang
Buat apa pusing-pusing memikirkan hak binatang
Lha wong kita saja yang manusia belum tentu haknya diperhatikan
Ya toh!


Menjadi seorang penyayang kemudian bertindak berhati-hati dan peduli… atau menjadi seorang yang bukan penyayang kemudian bertindak dengan hanya mementingkan diri sendiri, adalah sepenuhnya terserah anda. Pilihan pertama dan kedua sangat menentukan siapa diri anda.

Kamis, 29 Januari 2009

Jong Republik

Seringkali kita melihat mereka di ujung-ujung gang sedang jongkok bergerombol, dengan sebatang rokok di mulut mereka masing-masing. Semakin malam jumlah mereka semakin banyak. Kemudian mereka bergiliran menyesap minuman beralkohol yang dicampur dari berbagai macam merek minuman kesehatan dengan solvent (sejenis bahan untuk campuran cat besi atau cat plastik). Diantara mereka ada yang gaduh atau mengomel, ada yang diam, ada yang sempoyongan, dan ada pula yang duduk bersandar ke dinding rumah orang, tertunduk sedang ngiler. Ketika malam sudah sangat larut mereka baru tidur, pagi hari mereka masih tertidur, jadi bangunnya siang, malahan kadang-kadang sore hari mereka baru bangun.

Itulah kehidupan sehari-hari dari sebagian pemuda kita, pemuda Indonesia, generasi penerus bangsa, suatu generasi baru Indonesia penikmat kemerdekaan. Harus selalu diingat bahwa kemerdekaan Indonesia adalah tidak datang dengan sendirinya, namun merupakan hasil dari jerih payah dan pengorbanan para pahlawan pejuang kemerdekaan. Ironisnya mereka malah mengisi kemerdekaan yang menjadi hak mereka itu dengan hal-hal yang remeh temeh, yang sama sekali tidak mencerminkan sikap bersyukur atas kemerdekaan, dan tidak pula mencerminkan sikap berterimakasih kepada para pahlawan yang gugur dalam merebut kemerdekaan. Banyak orang beranggapan bahwa ini masih dalam batas kewajaran, karena masih banyak pemuda Indonesia yang “tidak seperti itu”, masih banyak pemuda Indonesia yang berprestasi dan membuat nama Indonesia harum dihadapan bangsa-bangsa! Ya saya tahu itu, tapi saya wegah membicarakan hal-hal semacam itu, tidak terlalu bermanfaat bagi siapapun. Tidak akan ada gunanya membicarakan mereka yang berprestasi semacam itu sementara jutaan pemuda kita yang lain dalam keadaan dikuasai oleh kerapuhan dan kemalasan, yang membuat mereka mudah diombang-ambing oleh riak-riak kehidupan di masyarakat. Saya cuma ingin membicarakan mereka-mereka yang “seperti itu”, yaitu para pemuda yang melewatkan waktunya tanpa belajar sesuatupun yang penting, tanpa berusaha membekali diri mereka dengan keahlian apapun. Saya ingin membicarakan mereka yang selalu hidup untuk saat ini, menghabiskan segala sesuatu yang mereka punya untuk saat ini, sekedar mencari kesenangan dari apa yang mereka peroleh saat ini, yang tidak memikirkan akan menjadi apa mereka itu dalam beberapa tahun kedepan. Saya ingin sedikit Berkomentar tentang para pemuda yang sekarang sedang dalam keadaan tidak melakukan apa-apa, menganggur, mencari kesengan kesana kemari, dan menjadi beban bagi bagi orang tuanya.

Banyak orang mengatakan bahwa generasi muda telah dirusak oleh minuman keras. Sehubungan dengan minuman keras ini, saya pribadi tidak sependapat dengan pendapat yang mengatakan bahwa alkohol dapat merusak generasi bangsa, atau dapat merusak para pemuda. Karena alkohol hanyalah alkohol, dan akan tetap seperti itu sampai kapanpun, yang tidak akan memberikan efek negatif apapun jika tidak disalah gunakan. Yang seringkali menimbulkan masalah bagi para pemuda sehubungan dengan alkohol, adalah justru karena kurangnya tradisi disiplin yang mereka terima dari keluarga mereka, sehingga kemampuan mereka untuk mengontrol diri menjadi sangat kurang, sehingga mereka menjadi mudah sekali mencandu alkohol. Pada akhirnya, karena kecanduan alkohol, pemuda tersebut terdorong untuk memfokuskan sumberdayanya untuk mendapatkan/ membeli alkohol, cenderung berkumpul dengan teman-teman peminum alkohol, serta memasuki tempat-tempat di mana alkohol seringkali diminum. Seorang pemuda yang kecanduan alkohol akan cenderung memakai uangnya untuk membeli minuman beralkohol, dari pada memakai uangnya untuk membeli kebutuhan dasar mereka yang lain. Jadi akar permasalahan yang membuat para pemuda menjadi bermasalah adalah, kerapuhan seorang pemuda untuk cenderung tertarik pada segala macam fenomena kecanduan.

Saya tidak tahu kenapa, atau apa hubungannya, namun seringkali ditemui bahwa pemuda ingin dilihat bahwa mereka sedang mabuk, lantas berjalan kesana-kemari, berbicara kasar dan bertindak semau-mau mereka. Mungkin karena ingin dianggap lebih dewasa, lebih matang atau lebih jago. Padahal setiap orang yang pernah mabuk tahu, bahwa dalam keadaan mabuk berat, seseorang akan memilih untuk diam atau tidur, karena sangat tidak nyaman dalam keadaan mabuk berjalan-jalan, hanya akan membuat sakit kepala saja. Kenaifan seperti ini yang membuat alkohol memiliki salah satu penilaian negatif tertentu dalam masyarakat. Masyarakat jadi terlalu melihat dan mempermasalahkan alkoholnya saja, dari pada memperhatikan betapa bahanya sikap mudah mencandu yang diderita oleh para pemuda. Sebenarnya jika kita mau melihat kenyataan apa adanya, maka fenomena kecanduan tidak melulu hanya terdapat pada alkohol, tapi juga pada rokok, Play Station, Film Blue, kebiasaan dugem, narkoba, dan hal-hal lain yang membuat pemikiran dan pengeluaran mereka menjadi tidak tidak terkontrol.

Beberapa teman muda saya yang saya perhatikan, kebanyakan meraka itu terlihat sedemikian pasif, lemah, tidak bergairah, tidak memiliki impian, kurang berinisiatif, tidak memiliki pemikiran yang membangun, sehingga kelihatan sekali bahwa mereka hanya mau dengan sesuatu yang instan-instan saja. Jadi apa yang menjadi rutinitas mereka sehari-hari adalah menonton tv, menonton film, mendengarkan musik hingar bingar, menonton bola, lontang-lantung kesana kemari dengan pacar mereka dan ngomong tidak karuan membicarakan sesuatu yang tidak bermanfaat. Sedikit sekali mereka melakukan kegiatan aktif yang bermanfaat, seperti misalnya menambah pengetahuan, atau mengasah ketrampilan tertentu. Mereka hanya peduli dengan kesenangan sesaat, mereka tidak mau serius dengan pekerjaan yang mereka kerjakan, padahal itu akan membuka jalan pada masa depan mereka yang gemilang.

Ini adalah sebuah fenomena yang telah saya lihat, sudut pandang pribadi yang ingin saya bagi dengan siapa saja. Kepada para pemuda, teman-teman yang kebetulan sekarang sedang menganggur, saya menjadi prihatin karena mereka cenderung berkumpul dengan teman-teman mereka yang sama-sama menganggur, menghabiskan waktu bersama untuk bernyanyi di sudut jalan, menonton film porno, menyewa ps, atau membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan perempuan, atau bahkan membicarakan omong kosong tentang penampakan mahluk ghaib, jin, atau ramalan-ramalan. Jarang sekali ada inisiatif dari mereka untuk mempelajari sesuatu yang baru, yang lebih dapat membuat maju diri mereka pribadi.

Ternyata ironis sekali kenyataannya, sulit sekali membujuk mereka untuk tertarik dengan hal-hal yang bersifat membangun. Jika saya menawarkan film-film dokumenter seperti National Geographic, Discovery Chanel, atau History Chanel… mereka kelihatan tidak tertarik, malah meminta film porno. Jika saya berbicara bahasa Inggris dengan mereka, agar kita sama-sama lancar berbahasa Inggris, mereka selalu menghindar, bukannya mereka tidak bisa, hanya saja mereka tidak pernah menganggap bahwa bahasa Inggris itu penting.Beberapa kali saya menawarkan pengetahuan tentang Brazilian Jiu-jitsu dan Krav Maga kepada mereka. Sekuat apapun saya membujuk mereka untuk berlatih beladiri ini dengan mengatakan bahwa beladiri ini adalah beladiri paling efektif dan paling mahal sedunia… toh mereka hanya senyum-senyum kecil, berlatih setengah hati dan ogaha-ogahan, serta kembali lagi pada rutinitas mereka yang membosankan. Payah.

Dalam pandangan saya pribadi tentang bagaimana seharusnya pemuda berperilaku adalah, bahwa seorang pemuda seharusnya menumbuh kembangkan sikap selalu ingin tahu pada segala hal. Dan seharusnya mereka lebih telaten dengan segala kegiatan yang berpotensi untuk memajukan kualitas mereka, sehingga mereka bisa dianggap layak untuk memberikan partisipasi mereka dalam pembangunan. Sembari biaya hidup mereka masih dalam tanggungan orang tua, seharusnya mereka harus bisa berfokus dan aktif dalam banyak kegiatan, sehingga teman mereka banyak. Teman adalah sangat penting partisipasinya untuk memajukan kepribadian seorang pemuda. Semakin banyak teman dan semakin kompleks jenis teman yang dimiliki oleh seorang pemuda, semakin banyak pula pelajaran yang dapat diambil oleh seseorang untuk mengintrospeksi diri dan memajukan hidupnya. Seorang pemuda harus banyak membaca, agar daya pikir mereka semakin berkembang, pengetahuan mereka semakin meluas, dan perilaku mereka semakin terarah. Jika perlu, mereka dapat bergabung dengan organisasi-organisasi tertentu yang dapat membuat mereka lebih aktif dan memiliki kemampuan dalam membangun jaringan. Seorang pemuda harus bekerja keras untuk menemukan tujuan hidupnya dan berusaha menemukan seorang mentor yang dapat memberikan dorongan untuk mencapai cita-citanya tersebut.

Seorang pemuda harus memiliki impian yang kuat bahwa mereka akan menemukan sebuah keberhasilan yang gemilang di masa mendatang. Mereka harus bersungguh-sungguh dengan segala hal yang sedang mereka kerjakan agar tingkat keberhasilan mereka tinggi. Dan yang terakhir, seorang pemuda harus sesering mungkin menilai dirinya sendiri, serta menanyakan sejauh apa mereka telah mengembangkan diri mereka masing-masing.

Menginap semalam di rumah Ai Lia

Pada sore hari saya menerima tilpun dari Ai Lia, beliau mengabarkan bahwa beliau membutuhkan saya untuk tinggal menjaga rumahnya sementara dia sekeluarga pergi untuk menghadiri suatu pertemuan keluarga dalam rangka menyambut hari raya Imlek 2560. Saya menyanggupi dengan sebuah kesepakatan bahwa saya boleh membawa anak-anak India, si Akash Sharma dan si Mohsin Alam untuk menemani saya berkaraoke di rumah Ai Liya. Namun tidak dapat dipastikan bahwa anak-anak India itu bisa seratus persen dapat menemani saya berkaraoke di rumah Ai Lia, maka untuk itu saya juga mengajak si Eng.

Sekitar jam 15:00 WIB saya datang di rumah Eng untuk menjemput dia. Sebelum kami pergi ke rumah Ai Lia, kami menyempatkan diri untuk mengobrol ringan. Di dalam kamarnya dia menunjukan beberapa barang yang berhubungan dengan dunia kearsitek-an yang menjadi kesibukannya, juga tulisan-tulisan yang telah dia susun dalam waktu senggangnya. Meja arsitek milik Eng, adalah meja arsitek pertama yang saya sentuh, saya kagum dengan mekanisme alat ini. Pada komputernya, Eng menunjukan beberapa topik tulisan yang sedang dia susun, antara lain adalah filosofi tentang kehidupan, keTuhanan, serta percintaan. Memang usia Eng masih belia, waktu saya menulis ini dia berusia 18 tahun, masih bocah, namun ketertarikannya terhadap pembicaraan yang menyangkut filosofi membikin bangga.

Saya membonceng Eng dari rumahnya menuju rumah Ai Lia dengan mengendari motor Vega R milik Winto. Akhirnya kami sampai di tempat Ai Liya jam 16:30-an, ternyata keluarganya Ai Lia masih belum bersiap menuju acara mereka. Rico, si anak sulung Ai Liya sedang sibuk belajar gitar dengan guru privatnya, sementara kakaknya si Hen-hen sedang tidur.

Sekitar jam 18:00 saya bersama keluarga Ai Lia dan Eng sedang berada dalam mobil menuju sebuah ruko besar yang menjadi tempat pertemuan keluarga. Saya dan Eng tidak mengikuti keluarga Ai Lia masuk kedalam ruko, kami memiliki tugas tersendiri, yaitu menjemput anak-anak India. Sebelum Ai Lia pergi meninggalkan kendaraan, beliau memberi kami uang seratus ribu sebagai uang makan. Seumur-umur saya tidak pernah dipercaya sebelumnya oleh orang lain yang bukan saudara saya, untuk menjaga rumahnya, diberi ijin memakai mobilnya, dan diberi uang jajan seratus ribu rupiah.

Sesampainya di tempat anak-anak India, setelah menunggu beberapa saat, kami bertemu dengan mereka. Namun hal yang tidak kami harapkan terjadi, si Akash terserang masalah konstipasi, sehingga sudah beberapa hari ini dia muntah-muntah terus. Melihat kondisinya, kami sudah tahu jawaban apa yang akan dia berikan ketika saya mengajak dia untuk berkaraoke di tempat Ai Lia. Si Akash bilang bahwa dia tidak terlalu kuat untuk diajak-ajak keluar dulu.
Setelah beberapa lama kami bergurau di tempat anak-anak India itu, saya dan Eng pergi untuk mencari masakan. Karena Eng sedang terkena radang tenggorokan, maka kami memilih masakan ringan untuk makanan malam. Lalapan Pak Pi’I adalah pilihan kami untuk mengenyangkan perut. Kami berniat untuk menghabiskan uang saku yang diberikan oleh Ai Lia… maka kami memesan tiga porsi nasi lalapan jamur, satu porsi nasi lalapan lele, satu teh tawar, dua es campur, dan sebuah poding. Satu porsi pertama saya sangat menikmati masakan-masakan itu, namun porsi kedua itu saya mulai berjuang, perut saya mulai penuh, es campur yang sangat manis memperparah kondisi itu. Setelah saya menghabiskan porsi yang kedua itu, saya merasa dalam bahaya muntah, makanya saya tidak berani langsung berdiri. Di saat saya merasa perut saya mau meledak, Si Eng malah memesan satu porsi kentang.

Dalam keadaan sangat kenyang kami pulang ke rumah keluarga Ai Lia, tidak ada lagi yang ingin kami lakukan selain pulang kerumah itu. Sesampainya di rumah itu, saya menghidupkan DVD dan seperangkat sound system besar milik keluarga Ai Lia, kemudian berkaraoke. Saya dan Eng bergantian bernyanyi, karena selera kami tidak sama, jika dia menyukai lagu-lagu dari group-group band baru, maka saya cenderung menyenangi lagu-lagu tembang kenangan.

Malam itu kami menginap di rumah keluarga Ai Liya dengan perut kekenyangan.

Pelajaran baru bagi saya “kita harus berjuang menjadi orang jujur sehingga kita bisa dipercaya oleh orang lain”.

Minggu, 25 Januari 2009

Kebahagiaan dan kebosanan menurut saya



Kebahagiaan adalah bagaikan seorang teman biasa yang kehadirannya tidak bisa kita perkirakan. Dia datang dan pergi semau-maunya, dia sama sekali tidak memiliki disiplin waktu, dan dia juga tidak berniat memiliki motivasi untuk tepat waktu. Kita tidak dapat menuntut dia agar dia datang pada saat-saat darurat dimana kita sangat membutuhkan dia. Baginya kita ini bukan teman baiknya, dan dia tidak merasa berkewajiban untuk datang menemani kita, meskipun ketika kita sedang benar-benar mengharap kedatangannya. Terkadang, tanpa disangka-sangka dia datang, kemudian dia mengajak kita bersuka-cita, membuat segala sesuatu yang kita lihat tersenyum dan berwarna indah. Tetapi kemudian si “bahagia” itu pergi, tanpa pamit, digantikan dengan si “bosan” yang datang mengunjungi, yang membuat segala sesuatu di alam ini terlihat tawar dan tidak lagi terlhat menarik. Ironisnya adalah, bahwa kebosanan merupakan seorang sahabat sejati, yang selalu siap sedia mendampingi dimanapun kita berada. Ketika kebahagiaan pergi menghianati kita, maka dengan sabar kebosanan akan datang dan dengan setia menemani kita.

Dalam pengertian kebanyakan, “kebahagiaan” itu dipandang sebagai seorang teman yang menyenangkan dan memiliki banyak kelebihan, berwajah rupawan serta berpenampilan menarik. Kemunculannya sangat kita tunggu-tunggu, karena kita beranggapan bahwa kehadirannya dapat membuat kita merasa nyaman, tentram, ayem, merdeka, dan berbunga-bunga. Namun harus diingat, bahwa dia itu bukanlah seorang teman atau sahabat yang setia. Bagi dia, kita ini hanyalah satu dari sekian banyak teman-temannya yang tidak terlalu berarti baginya, kita ini bukan apa-apa bagi dia.

Jika si “kebahagiaan” dipandang sebagai seorang partner yang serba sempurna, maka sebaliknya dengan si “kebosanan”. Kita cenderung malah menganggap si “kebosanan” adalah bukan siapa-siapa kita, yang kehadirannya selalu membebani kita. Kita tidak pernah menginginkan keberadaannya. Apabila dia datang menghampiri untuk menemani, karena dia tahu bahwa “kebahagiaan” telah meninggalkan kita, kita malah menjauhinya. Kita sudah kadung terlena dengan kecantikan atau ketampanan si “kebahagiaan”, sehingga kita selalu menganggap bahwa “kebosanan” adalah seorang yang tidak memiliki kegunaan apapun, segala sesuatu yang ada padanya hanyalah kesia-siaan belaka. Lha nyatanya, ketika kita sedang bosan, maka kita cenderung tergerak untuk meninggalkan si “kebosanan” itu dengan menonton TV, pergi mabuk-mabukan, tidur, atau malah melamun. Kita sama sekali tidak menghargai kehadiran si “kebosanan”, kita sama sekali tidak memiliki kepedulian apapun pada si “kebosanan”.

Padahal jika diperhatikan baik-baik, si “kebosanan” itu adalah mahluk yang lugu, mungkin tidak memiliki kelebihan apapun, tidak berwajah rupawan, dan tidak berpenampilan menarik. Namun kenyataannya dia adalah lugu, yang dia punya hanyalah kesetiaan abadi dan pemberian yang tidak berbalas. Dia akan sangat sedih ketika dia mengetahui bahwa kita sedang ditinggalkan oleh si “kebahagiaan”, lalu dengan tergopoh-gopoh dia akan mendatangi kita untuk menemani, meskipun dia tahu persis bahwa kita tidak akan menyambutnya dengan baik. Memang dia tidak pernah sekalipun pernah berharap bahwa dia akan mendapatkan sambutan yang hangat dari kita, tapi itu tidak pernah menjadi masalah baginya, karena kasih sayangnya tidak pernah berbalas.

Kenapa sih kita selalu bersikap jahat pada si “kebosanan”, kenapa sih kita selalu memusuhinya? Mengapa tidak pernah sekalipun kita mencoba berkomunikasi dengannya? Kenapa kita tidak pernah membuka pikiran kita, siapa tahu dengan adanya pertemanan yang erat dengan si “kebosanan” ini kita dapat memetik suatu pelajaran berharga tentang kehidupan, yang tidak kita dapatkan dari si “kebahagiaan”. Selama ini sikap kita hanyalah selalu jengkel dan menolak mentah-mentah si “kebosanan”, tanpa melihat dulu maksud kedatangannya.

Kita harus menyadari bahwa kebahagiaan itu sudah tidak bisa diandalkan, kesetiaannya sangat diragukan. Fakta telah mengatakan bahwa kebahagian dapat mendadak berlaku kejam pada seseorang dengan tiba-tiba meninggalkan orang tersebut sendiri didalam sebuah kondisi susah. Dia seringkali hanya melihat saja dalam “jarak yang aman”, seseorang yang dulu pernah menjadi teman lamanya itu bergulat seorang diri, kehabisan napas, melawan penderitaan sampai mati. Kebahagiaan hanya akan menatap dingin bekas temannya itu, yang sedang menderita,tanpa melakukan apa-apa, tanpa berbelas kasihan sedikitpun. Kebahagiaan itu dapat menjelma sebagai masakan yang lezat di restoran mahal ketika seseorang sedang kelaparan, atau kebahagiaan dapat menjelma sebagai satu keluarga utuh yang harmonis ketika seseorang baru saja kehilangan keluarganya akibat sebuah bencana.

Sudah saatnya kita menoleh kepada kebosanan, belajar menghormati keberadaannya, memperhatikan perilakunya, dan menghargai kesetiaannya. Mulailah sebuah hubungan yang erat dengannya, rangkulah dia meskipun penampilannya memuakan. Berdamailah dengan kebosanan, jangan dimusuhi, mintalah dia untuk membahagiakan kita, mintalah dia membantu kita memajukan kualitas kita. Syaratnya adalah, bahwa kita harus mengerti bahasa kobosanan, sehingga kita dapat berdialog dengannya, dan agar dia dapat mengerti apa saja yang kita inginkan. Meditasi, kontemplasi, Yoga, dan perenungan, adalah bahasa-bahasa yang bisa dipahami oleh kebosanan. Dengan bahasa-bahasa itu, kebosanan akan menunjukan kebesarannya , dan dengan bahasa-bahasa itu pula kebosanan akan memberikan suatu pelajaran-pelajaran berharga tentang kehidupan, sedikit demi sedikit.

Salah satu lagi bahasa yang dapat dipahami oleh kebosanan adalah bahasa ketelatenan. Apabila kita menerima kebosanan dengan tangan terbuka, kemudian dengan sabar dan telaten mengajak dia untuk memajukan kualitas kehidupan bersama, maka lambat laun kebosanan akan menjelma menjadi suatu mahluk yang nyata, berpenampilan menarik, berwajah rupawan, dan… selalu setia. Semakin kita mempercayai kebosanan adalah seorang teman setia, yang selalu dapat menghadirkan mawas diri dalam diri kita, maka kebahagiaanpun akan kita dapatkan. Rupanya kebosanan itu hanya mau menjelma menjadi kebahagiaan, apabila kita sudah merasa cukup berbuat sesuatu yang baik, apabila kita sudah merasa mengisi hari-hari kita dengan kebaikan, dan apabila ketika kita sudah merasa setia pada apa yang kita anggap sebagai suatu kebaikan. Jadi kebahagiaan sejati seringkali tidak ditemukan dengan menikmati barang-barang mewah atau dengan “menikmati” berhubungan dengan orang lain, tetapi seringkali kebahagiaan itu didatangkan dengan berusaha mengenal diri sendiri… berusaha menyadari apa yang sedang saya lakukan, di mana saya sedang berada, dan kemana saya pergi setelah semua ini berakhir.

Cerita dari Soebagio Pranoto

Sudah tiga minggu ini Soebagio merasa bosan dengan hari-harinya. Dia sudah tidak terlalu ingin lagi melakukan segala sesuatu yang menyenangkan, dia sudah bosan dengan itu semua. Tiga minggu terakhir ini dia hanya mengisi hari-harinya main-main kesana kemari bersama dengan teman-temannya, untuk mengusir suntuk dan menghilangkan rasa bosan. Namun semakin keras usahanya mengusir kebosanan tersebut, semakin berkeras pula kebosanan itu bermaksud menemaninya. Maka dia pun menyerah, sehingga apa yang dia lakukan hanyalah bermalas-malasan, tiduran sepanjang hari, tidak melakukan apa-apa, atau sekedar menonton TV. Namun dengan demikian, dia malah merasa gundah… karena apa yang dia lakukan hanyalah menyia-nyiakan waktunya saja.

Suatu saat dia teringat dengan sebuah teknik kuno yang dulu pernah dia pelajari dalam sebuah lokakarya sederhana, disebuah hotel sederhana. Dalam lokakarya itu, dia diberitahu bahwa meditasi, yoga, dan perenungan dapat membuat seseorang menjadi lebih tenang dan dapat berpikir lebih jernih. Dia mengingat-ingat kembali apa saja yang telah dia pelajari dalam lokakarya itu. Beberapa saat kemudian dia menyemprotkan pengharum ruangan ke beberapa sudut kamarnya, menghidupkan musik lembut yang dia senangi, dan menggelar karpet. Tidak lama kemudian dia terlihat sedang duduk bersila dengan punggung tegak, dan mata terpejam… Soebagio mencoba bermeditasi.

Di dalam duduk diamnya itu Soebagio menemukan suatu kedamaian dan ketenangan. Berbagai pikiran liar yang sebelumnya membuat dia gundah dan gelisah ketika dia sedang merasa bosan, berangsur-angsur menghilang, digantikan dengan pikiran-pikiran santai, yang membuat dia lebih dapat menerima keadaan seperti apa adanya. Jika sebelumnya dia tidak tahan dengan suasana hening, sehingga ia cenderung ingin segera beraktifitas, atau malah ingin pergi tidur, sekarang walaupun hanya dengan sebatang rokok dia sudah dapat berpikir lebih tenang, lebih dalam.

Dalam perenungannya yang mendalam itu, ketika ia mengenang masa lalu, seringkali Soebagio tersenyum kecil, atau menitikan air mata karena haru. Ia bersyukur kepada Tuhan YME atas pegalaman masa lalu yang telah banyak memberikan banyak sekali pelajaran-pelajaran berguna, yang membuat dia semakin dewasa dan bijaksana. Dalam perenungannya juga, Soebagio mulai bisa “hadir” dalam ketenangannya itu, merasakan kekinian, frekuensi keliaran pikirannya untuk terbang kesana-kemari juga sudah mulai berkurang. Dia memiliki segudang impian bahagia nan indah akan sebuah masa depan yang gemilang, dan dalam meraih impian itu, sekarang Soebagio dengan tenang memilih mencurahkan perhatiannya kepada usaha sungguh-sungguh dan telaten di masa sekarang dengan terus berharap, daripada sekedar bermalas-malas dan bermimpi kosong.

Dalam hari-hari berikutnya Soebagio telah bersahabat dekat dengan kebosanan, memberikan sebagian besar waktunya kepada kepada sahabat barunya itu. Sebagai imbalan, sahabat barunya itu merubah dirinya sedemikian rupa sehingga dia lebih banyak berguna dalam kehidupan Soebagio, memberinya lebih banyak kedamaian, kebahagiaan dan kebijaksanaan. Si “kebosanan” yang sudah menjelma menjadi si “kebahagiaan” itu sekarang dengan setia selalu menemani Soebagio dalam setiap kegiatannya, di manapun dia berada, sehingga Soebagio terlihat lebih tekun, telaten dan bersemangat. Tidak lama kemudian Soebagio dikenal oleh banyak orang sebagai orang kaya yang pemurah.

Selasa, 20 Januari 2009

Ultra cintaisme pada agama

Menurut saya, sikap menghormati keberagaman agama adalah suatu perbuatan yang baik, mulia dan tentunya perlu sekali untuk diejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini yang dimaksudkan dengan sikap menghormati agama lain adalah, perbuatan yang benar-benar menghormati suatu perbedaan agama dengan sebaik-baiknya dan dengan sikap yang peduli. Menghormati keberagaman beragama tidak berarti hanya sekedar memberikan toleransi ataupun sekedar bersikap cuek, tidak mau tahu. Kenyataannya, dalam kehidupan sehari-hari banyak sekali orang yang beranggapan bahwa segala sesuatu diluar agama dan keyakinan mereka adalah bukan urusan mereka, dan mereka tidak akan mau tahu sedikitpun dengan hal-hal semacam itu. Itulah mengapa sangat sedikit orang non Nasrani yang mau mengucapkan selamat Natal pada orang Nasrani, dengan berbagai alasan, termasuk alasan takut dianggap murtad karena membenarkan ajaran agama orang lain. Sangat ironis bahwa agama malah membuat umat manusia menjadi terkotak-kotak.

Kalau saya sih meyakini bahwa agama itu selalu menganjurkan kebaikan, mendorong manusia untuk saling berbagi dan saling peduli. Agama mengatur perikehidupan sedemikian rupa sehingga manusia memiliki rambu-rambu tertentu agar dia selalu ingat dan menghormati ajaran luhur dengan berperilaku yang sebaik-baiknya. Saya mempercayai bahwa agama mengajarkan perdamaian pada umat manusia supaya mereka bisa saling belajar untuk mengasihi. Agama seharusnya memanusiakan manusia, dalam pengertian bahwa agama seharusnya mendorong munculnya perikemanusiaan seseorang, sehingga orang tersebut bertambah peka perasaannya, semakin peduli dengan penderitaan sesamanya dan bertambah bijaksana perilakunya. Namun pada kenyataannya dunia ini dipenuhi dengan orang-orang fanatik dari kalangan agama apapun, yang bersikap angkuh dan merasa bahwa kebenaran sejati adalah hak prerogatif agama yang diyakini oleh komunitas mereka. Mereka memandang orang lain yang berbeda keyakinan sebagai orang-orang sesat yang tidak mendapatkan keselamatan.

Jika di Jepang sebelum era perang dunia ke dua pernah muncul adanya ideologi Ultra-Nasionalisme, maka di nusantara kita yang sekarang ini dikenal juga dengan adanya Ultra-Cintaisme pada agama. Jadi agama seringkali dipahami dengan cara-cara yang radikal dan militan, sehingga agama tidak lagi terasa membawa perdamaian dan keharmonisan, malah cenderung menyebabkan manusia semakin tidak beradab, dan menyebabkan terjadinya tindakan kekerasan yang berulang-ulang, yang mencerminkan kesempitan pola berpikir pemeluknya. Saudara-saudara sebangsa dan setanah air kita semakin hari semakin mudah terbakar bahkan hanya dengan beberapa penggal cerita-cerita heroik, dan konflik-konflik bangsa asing yang terjadi di masa lalu, di belahan bumi lain, di negara lain. Saudara-saudara sebangsa dan setanah air itu kemudian ikut-ikutan dendam dengan dendamnya orang lain, bangsa lain, lantas membenci saudara sebangsanya yang berlainan kepercayaan. Perang salib yang notabene perangnya orang lain, perangnya bangsa lain, gemanya terdengar hingga sekarang… hingga ke Indonesia kita tercinta ini. Kita ini orang-orang Indonesia moderen yang sama sekali tidak memilki hubungan langsung dengan Jerusalem masa lampau, pada akhirnya terbawa-bawa untuk membenci saudara kita, hanya karena kebetulan kita dilahirkan dengan identitas agama yang berbeda, yang mana perbedaan identitas itu mirip-mirip dengan perbedaan identitas dari agama-agama yang dianut bangsa-bangsa asing yang saling berseteru pada waktu itu. Perlu digarisbawahi, bahwa sama sekali bukan agama yang menjadi permasalahan di sini, namun idealisme impor, idealisme asing yang mengandung kebencian itu yang dikhawatirkan dapat membawa perpecahan diantara kita orang-orang Indonesia. Saudara-saudara kita di timur Indonesia saling tusuk dan saling tembak, gara-gara keliru memahami idealisme impor itu, gara-gara tidak bisa memisahkan antara ajaran agama dengan sentiment negatif yang muncul dari akumulasi konflik-konflik zaman kuno. Mereka terdiri dari dua kubu, persis seperti kubu-kubu di timur tengah yang saling berhadap-hadapan dalam konflik besar memperebutan tanah suci, Jerusalem, yang terjadi seribu-an tahun yang lalu.

Sebaiknya kita sebisa mungkin tidak sependapat dengan adanya peperangan, daripada berperang kan lebih baik duduk bersama, menyelesaikan perbedaan pendapat dengan cara-cara musyawarah kekeluargaan. Namun janganlah kita terlalu menyalahkan seratus persen saudara kita yang berperang dalam konflik Ambon yang berbau sara tersebut. Sangat sulit bagi seseorang untuk menghindari konflik semacam itu, apalagi yang bersangkutan adalah orang lokal yang memiliki ikatan batin yang kuat dengan daerah tempat berlangsungnya konflik tersebut. Tidak semua orang yang ikut berperang didalamnya berjiwa militan, namun ada beberapa orang yang terpaksa mengangkat senjata untuk melindungi keluarga, kampung halaman, dan orang yang mereka cintai, dari kejamnya peperangan itu sendiri. Kita harus berpikir logis, kadang-kadang seseorang tidak memiliki banyak pilihan selain melakukan sesuatu yang mereka benci demi melindungi keselamatan orang-orang yang mereka cintai. Sepanjang ini bukan menyangkut aksi penyerangan, mengangkat senjata untuk mempertahankan diri masih bisa dibenarkan. Namun yang paling disesalkan disini adalah para penghasut-penghasut pra konflik, entah dari kubu yang mana saja, yang menyebarkan kebencian-kebencian secara mendalam, sehingga orang menjadi berpikir bahwa menjaga kemurnian dan kesucian agama jauh lebih penting daripada memelihara perdamaian. Bisa saja para penghasut itu tidak menyadari bahwa apa yang mereka sampaikan berpotensi menimbulkan perpecahan dan penderitaan, mereka hanya tahu bahwa mereka harus menyampaikan berita yang telah disampaikan kepada mereka. Oleh karenanya dibutuhkan suatu penyikapan yang dewasa dan bijaksana terhadap segala hal yang sedang diberitakan kepada kita, sehingga kita bertindak tepat guna dan tepat sasaran, serta tidak bertindak terlalu reaksioner yang hanya akan menimbulkan penderitaan kepada sesama.

Kita harus berhenti berpikir bahwa hanya agama kita saja yang memiliki kebenaran sejati, sementara agama lain memiliki banyak kekurangan, pemikiran seperti itu tidak lebih hanya membawa kita kepada sikap yang angkuh, naïf, cuek, tidak peduli dan mendorong kita menjadi semakin terkotak-kotak. Aku begini, engkau begitu, persetan dengan apapun yang kamu lakukan, aku tidak mau ambil pusing. Atau malah yang lebih parah lagi adalah, beberapa orang yang merasa benar sendiri itu malah memaksakan kehendak kepada orang lain untuk menuruti segala sesuatu yang menurutnya benar. Sikap-sikap ekstrim seperti itu malah membuat kita semakin jauh dari kebaikan. Baik ekstrim kanan maupun ekstrim kiri, kenyataannya hanya menyebabkan rusaknya tatanan.

Lihat saja di media massa, banyak sekali diantara kita yang mengkritik tradisi orang lain sebagai sesuatu yang tidak benar. Awalnya hanya kritikan dan gunjingan, tetapi ujung-ujungnya pemaksaan juga. Lihat saja apa yang dilakukan oleh beberapa orang yang tidak setuju dengan adanya Islam Ahmadiyah. Dengan alasan telah menginjak-injak ajaran dan kesucian Islam, mereka mengupayakan agar Ahmadiyah tidak boleh lagi eksis di Indonesia. Bagi anda yang terlalu reaksioner dan merasa bahwa kesucian agama anda telah diinjak-injak oleh Ahmadiyah, lantas bagaimana anda menilai tindakan anda dengan merusak rumah dan membakari masjid orang-orang Ahmadiyah. Baik pelaku pembakaran ataupun orang-orang yang mengupayakan agar Ahmadiyah sirna dari muka bumi Indonesia, mereka sama-sama bermasalah sebenarnya. Perhatikan saja, mereka cenderung berfokus pada “kesalahan” Ahmadiyah semata dan berupaya sekuat tenaga agar hukum ditegakan dengan membubarkan Ahmadiyah, namun mereka tidak berupaya dengan antusiasme yang sama bahwa pelaku pembakaran juga harus ditindak secara hukum. Terhadap pelaku pembakaran itu mereka seakan menutup mata, kemudian kasus itu sekedar menjadi kasus. Kebenaran apa yang mereka tegakan? Hukum apa yang ingin mereka junjung tinggi, hukum yang berpihak? Atau pemaksaan penghilangan keyakinan? Bayangkan saja bagaimana jika idealisme seperti ini menguasai Indonesia? Bisa runyam jadinya. Sejauh penilaian saya, ini hanyalah pemaksaan kehendak dan aksi premanisme yang dilakukan oleh masa mayoritas kepada kaum yang termarjinalkan, tidak lebih. Saya yakin jika perbandingan jumlah orang-orang Ahmadiyah berkebalikan dari yang sekarang, pembakaran dan perusakan itu tidak akan terjadi.

Kenapa sih kita ini cenderung merecoki orang lain? kenapa kita cenderung ingin membenarkan kekeliruan orang lain? apakah kita merasa paling sempurna sendiri? Adakah jaminan bahwa komunitas kita selalu benar dan tidak akan pernah bermasalah? kita pikir siapa sih kita ini, sehingga kita ingin merubah ideologi orang lain dengan ideologi kita? Memanganya kita mengetahui sesuatu dengan pasti, sesuatu yang tidak diketahui oleh orang lain, yang pemahamannya ingin kita benarkan itu? Tidakkah kita melihat bahwa mereka telah sepenuhnya baik-baik saja jauh sebelum kita ingin berusaha membenarkan mereka.

Saya tidak tertarik untuk membela ajaran Ahmadiyah, namun saya hanya mau bilang bahwa saya tidak sependapat dengan idealis ultra cintaisme kepada agama membuat seseorang berpikir bahwa pemaksaan kehendak boleh dilakukan untuk membela kesucian suatu agama. Saya berpendapat bahwa bibit konflik ini bukan dimulai dari perbedaan ajaran Ahmadiyah yang dinilai menyimpang, namun karena semangat ultra cintaisme kepada agama yang berkobar-kobar. Saya berpikir bahwa semua peperangan yang mengatas-namakan agama, selalu diawali oleh semangat ultra-cintaisme pada agama, yang selalu berapi-api. Apabila semangat ultra-cintaisme ini merasuki diri seseorang, maka orang ini akan bertindak sangat agresif dan membabi buta, membabat semua orang yang tidak sesuai dengan idealisme mereka, mereka tidak akan lagi mempedulikan perikemanusiaan… baik kepada lawan maupun kepada kawan. Mahatma Gandhi contohnya, seorang pemimpin Hindu terkemuka, yang meninggal tertembak oleh seorang Hindu militan. Militan yang membunuh Gandhi itu menganggap bahwa ajaran Gandhi dapat merusak kesucian Hindu. Padahal semua orang yang membaca sejarah tahu bahwa apa yang dilakukan oleh Mahatma Gandhi adalah sebuah usaha tulus untuk memadamkan konflik Islam dan Hindu, lewat jalur non kekerasan (Ahimsa) dan kasih sayang.

Marilah berbuat baik kepada siapapun, berikan senyum perdamaian kepada semua orang.
Jangan membeda-bedakan manusia berdasarkan ras atau agamanya. Tanamkan pengertian cinta kasih kepada anak-anak, dorong mereka untuk berlaku sedemikian rupa sehingga mereka bisa belajar untuk senantiasa menghormati perikemanusiaan, tidak hanya untuk sementara, tetapi selalu dan untuk selama-lamanya (meminjam kata-kata dari Immanuel Kant). Tolak segala faham yang mengandung kebencian dan mendorong sentimen-sentimen negatif, yang dapat mendorong kepada konflik dan perpecahan. Hormati sepenuhnya tradisi dan agama saudara kita, sedapat mungkin jangan berbicara buruk tentang itu. Salinglah mengucapkan selamat kepada orang-orang yang sedang merayakan hari besar, meskipun kita berbeda agama. Jangan takut murtad, Tuhan maha pengasih lagi maha penyayang, Dia tidak akan pernah sembrono memberikan hukuman semacam itu kepada kita. Mari bersama menghormati Bhineka Tunggal Ika, junjung tinggi idealisme asli Indonesia itu, yang menjadi ideologi negara kita itu, lebih dari idealisme impor manapun.

Indonesia, bangsaku, nusantaraku, tanahairku.

Seribu tahun.

Rabu, 14 Januari 2009

Mbok ya ga usah di bom...

Kemarin hari saya menonton pemberitaan di TV tentang eksekusi trio pembom sari club di Kuta Bali. Dalam pemberitaan itu ditayangkan detail tentang bagaimana kronologis pemboman tersebut. Ketika diwawancarai didalam penjara, saya melihat bagaimana ketiga pelaku pemboman tersebut sangat merasa yakin bahwa apa yang telah mereka lakukan adalah benar , sebenar-benarnya. Di dalam pengamatan sepanjang pemberitaan yang saya lihat, tidak tampak sedikitpun mimik muka yang mengindikasikan adanya rasa bersalah, atau setidaknya sedikit rasa gentar karena telah mengakibatkan meninggalnya 202 orang sipil yang tidak bersalah.

Beberapa saat sebelum tidur, tiba-tiba saya teringat kembali sosok ketiga pelaku pengeboman Sari Club. Pikiran saya dipenuhi dengan berbagai pertanyaan yang saya coba untuk saya jawab sendiri dalam suasana sunyi sebelum tidur. Saya yakin sepenuhnya bahwa Amrozi, Imam Samudra, dan Muklas adalah orang-orang yang tidak dilahirkan dalam keadaan jahat. Jadi pertanyaanya mengapa mereka bisa menjadi tega melakukan hal yang luar biasa kejam dengan membunuhi orang sebanyak itu? Saya juga percaya bahwa mereka bukan orang bodoh atau gila, karena bagaimana mungkin orang bodoh atau orang gila dapat bekerja sama dengan baik dalam suatu misi besar sukses melawan hukum, tanpa ketahuan. Yang saya heran adalah bagaimana sih kok mereka sama sekali tidak merasa bahwa apa yang mereka lakukan itu adalah tindakan yang sangat gila? Apa saja sih yang mereka pikirkan? Setahu saya, bahwa di dalam suatu peperangan, menyakiti atau membunuh musuh yang sudah menyerah adalah tindakan yang sangat tidak terpuji dan bertentangan dengan perikemanusiaan, nah apalagi ini, membantai orang sipil, tidak pada suasana perang! Saya yakin setiap orang yang berbelas kasih pasti akan setuju dengan pendapat ini. Saya jadi bertanya-tanya apakah yang menjadi penyebab seorang Amrozi, Imam Samudra, dan Muklas menjadi teroris kejam, yang kebetulan berlabel Islam?

Ingatan saya melayang kembali pada saat-saat ketika saya masih anak-anak. Ketika itu saya disekolahkan di sekolah dasar Islam, sesuai dengan keinginan orang tua saya, yang menginginkan agar anaknya menjadi anak yang saleh dan beriman. Di sekolah ini saya masih ingat betul bahwa ada semacam kebanggaan yang luar biasa menjadi anak-anak yang memiliki latar belakang Islam. Waktu itu dalam pikiran seorang anak-anak,kami berpikir bahwa hanya Islam sajalah agama yang paling benar, hanya Islam saja yang dapat membawa kami menuju pada kebahagiaan dan keselamatan, bebas dari ancaman siksa api neraka, sementara agama dan kepercayaan yang lain tidak bisa melakukan hal yang sama. Bahkan dalam pikiran anak-anak itu, saya bahkan pernah berpikir bahwa membunuh orang kafir itu tidak apa-apa, membunuh orang kafir tidak akan pernah membawa dosa. Entah mengapa saya dulu kok bisa sampai berpikir seperti ini. Namun ketika saya ingat-ingat lagi, sepertinya ini adalah gejala kebanggaan ekstrim kepada agama, yang di identitaskan kepada saya waktu itu yang masih kecil, yang masih kurang bisa berpikir secara dewasa.

Jadi setelah saya pikir-pikir lagi, sekarang saya mulai tahu apa yang menjadi penyebab mengapa saya bisa berpikir ekstrim seperti ini. Pelajaran-pelajaran tentang sejarah Islam yang dipenuhi dengan pertempuran-pertempuran besar dan kemenangan-kemenangannya yang katanya adalah karena mujizat Tuhan, syarat memberikan pengertian bahwa Tuhan hanya berpihak kepada umat Islam dari pada orang-orang kafir. Pikiran kanak-kanak kami tidak dapat menalar bahwa orang-orang yang dianggap “kafir” itu adalah juga mahluk ciptaan Tuhan. Waktu itu saya masih tidak mampu bernalar bagaimana sang pencipta bisa berpihak kepada mahluknya dan memusuhi mahluk lainnya. Namun bukan pelajaran tentang perang saja yang seingat saya membuat saya yang masih kecil menjadi sedemikian fanatik, namun juga para guru pengajar kami juga turut ambil bagian dalam memperparah idealis kami.

Dalam proses belajar mengajar para guru kerap sekali membagus-baguskan Islam dengan cara yang sangat dilebih-lebihkan sehingga memberikan efek yang negatif pada pemahaman muda kami. Mereka tidak jarang mendiskriditkan agama dan tradisi lain yang tidak sejalan dengan ajaran Islam, dengan memberikan pendapat sinis mereka sendiri tentang agama lain. Mungkin ada beberapa dari anda yang berasal dari sekolah seperti sekolah saya, ingatkah anda bagaimana beberapa dari pengajar anda memberikan julukan kepada orang Kristen, yang menurut saya lebih tepat disebut olok-olok daripada julukan atau sebutan. Kejam sekali rasanya, menanamkan kebencian dan mengajarkan perpecahan kepada bocah-bocah lugu yang tidak tahu apa-apa. Saya khawatir idealisme kurang beradab dari guru pengajar seperti ini akan sangat memberikan pengaruh negatif yang sangat besar kepada pemahaman murid-murid tentang kehidupan bermasyarakat. Saya menjadi ngeri ketika membayangkan apa jadinya jika faham kekerasan menggeser konsep arif bijaksana tentang tenggang rasa, berbagi, toleransi (tepo sliro), kasih sayang, dan menghormati orang lain yang seringkali diajarkan oleh para orang tua jaman dahulu kepada generasi muda. Saya khawatir anak-anak yang salah didik tersebut bertumbuh, kemudian berjiwa militan – reaksioner , pendek pikir, dan mudah sekali terbakar dengan hasutan.

Tidaklah mudah bagi seorang yang fanatik terhadap agama agama tertentu, menerima kenyataan bahwa dunia ini terdiri dari sekian banyak hal yang berbeda, tradisi berbeda, kebiasaan berbeda, agama yang berbeda, gaya hidup dan kebiasaan berbeda, idealisme yang berbeda-beda pula. Orang Malang yang senang sekali dengan gorengan, akan sulit memahami bagaimana orang Bandung yang katanya menyukai lalapan sayur. Namun seharusnya perbedaan seperti itu adalah bagus menurut saya, karena kita bisa bebas saling bertukar resep masakan. Tapi betapa sedihnya ketika kita mendengar jika ada orang Malang mengebom warung gado-gado milik orang Bandung di Malang, hanya karena orang Bandung tersebut tidak menjual gorengan seperti yang diinginkan orang Malang itu. Apa jadinya jika semua orang di Nusantara ini memiliki cara berpikir seperti orang Malang itu tadi. Bagaimana nasib Warung Tegal, Masakan Padang, dan Sate Madura yang ada banyak di kota-kota di Indonesia?

Saya sulit mengerti bagaimana orang sampai hati melakukan pembunuhan untuk menegakan sesuatu yang mereka anggap benar. Ini bukan kasus bertahan atau masalah mempertahankan diri, namun penyerangan, ambush, pembantaian. Mengapa mereka begitu tega? Tidak adakah sedikit saja hati nurani? Tidak adakah rasa perikemanusiaan pada dirinya? Dalam kasus bom Bali, tidakkah para pelaku pengeboman tersebut merasa kasihan kepada korban-korban yang meninggal, yaitu kepada mereka yang tidak tahu menahu untuk apa mereka harus kehilangan nyawa mereka yang paling berharga? Tidakkah mereka merasa iba kepada para orang tua yang telah hancur hidupnya karena kehilangan anak-anak yang mereka besarkan dengan penuh perhatian dan kasih sayang? Sebelum mereka meledakan bom, pernahkah mereka mempertimbangkan bagaimana nasib masa depan anak-anak yatim piatu putra putri korban keganasan mereka? Pernahkah mereka merasa bersalah karena telah membuat sedemikian banyak penderitaan? Saya jengkel sekali, kok tidak peka sih mereka? kemana larinya perikemanusiaan mereka?

Sedih sekali rasanya mengetahui bahwa ada banyak orang yang setuju dan mendukung tindakan tidak terpuji yang dilakukan oleh para pelaku pengeboman. Didalam tayangan pemakaman Imam Samudera pasca eksekusi, bahkan ada beberapa orang yang terang-terangan berteriak-teriak bahwa mereka akan membalas dendam atas kematian Imam Samudera. Saya heran kenapa sih mereka tidak pernah belajar apapun dari kesusahan ini? Apakah mereka terlalu sibuk dengan urusan mereka sendiri , sibuk dengan urusan organisasi, idealisme, komunitas, ritual, misi atau apalah, sehingga kemampuan mereka untuk merasakan penderitaan orang lain menjadi hilang sama sekali.

Pernah suatu ketika saya mengendarai sekuter saya menuju Malang, dari arah belakang saya meraung-raung sebuah truk ambulance, milik pemerintah daerah Pasuruan, berkecepatan tinggi pontang-panting tunggang-langgang, seperti sapi kalap dalam karapan sapi Sumenep. Dalam hati, saya berani bertaruh bahwa pasien penumpang truk ambulance itu sudah dalam keadaan sangat gawat. Eehh… celakanya tidak banyak pengendara mobil lain yang mau memberikan jalan kepada ambulance tersebut, hanya dua dari Sembilan mobil di depan saya yang mau minggir. Ketujuh mobil sisanya tetap lenggang kankung tenang-tenang saja meskipun sirine ambulance itu menjerit sejadi-jadinya minta diberi jalan. Saya tidak yakin, bahwa para sopir kendaraan-kendaraan didepan saya itu tidak mendengar raungan sirine truk ambulance tersebut. Karena berselang lima menit setelah truk ambulance itu lewat, datang iring-iringan truk-truk Marinir yang didahului oleh land rover kecil Polisi Militer. Seingat saya suara sirine land rover tua milik marinir itu tidak senyaring truk ambulance yang sudah lewat tadi. Tapi anehnya semua mobil di jalur depan saya, sejauh mata memandang, sedan, mini van, truk reyot, wagon, atau kendaraan apapun di jalur itu, semuanya minggir?!!. Saya menduga, setelah melihat pemandangan di kaca spion mereka, para sopir berpikir bahwa dari pada kena masalah besar lebih baik mereka segera meminggirkan kendaraan mereka. Tidak habis pikir saya, gimana saudara-saudara sebangsaku ini, kok tambah lama tambah *****!!!?

Perikemanusiaan VS takut. Saudara-saudara sebangsa dan setanah air tadi, para sopir kebanyakan itu, kemana sih larinya perikemanusiaan mereka? Asalkan masalah itu terjadi pada orang lain, separah apapun keadaannya, sepanjang tidak menyangkut diri pribadi mereka (para sopir) maka…. yang terjadi biarlah terjadi, mereka tenang-tenang saja, tidak ada sedikitpun rasa peduli. Itulah kenapa hanya dua dari Sembilan mobil yang mau minggir meskipun truk ambulance itu merengek-rengek minta dikasih jalan. Tetapi perkaranya jadi lain jika yang meraung-raung itu sirine Marinir. Sopir-sopir tersebut sangat ketakutan, kelabakan dan meminggirkan kendaraan sebisa-bisanya agar mereka terhindar dari masalah.

Sepertinya saya kok jadi bertambah yakin bahwa pola berpikir yang menjangkiti para sopir ini juga menjangkiti para pengebom Sari club. Dalam kasus para pengebom Sari Club kepercayaan yang kuat ditambah doktrin-doktrin keras dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab, yang terakumulasi sejak lama dapat mengganggu pertimbangan-pertimbangan sehat para pengebom tersebut. Ketakutan, dan kefanatikan telah mengusir tenggang rasa, perikemanusiaan dan rasa iba, dari hati para pengebom Sari club. Takut akan neraka dan fanatik akan agama… kemudian untuk semua itu pembantaian manusia mereka benarkan? Bukankah itu sungguh suatu dosa yang sangat besar? Mana mungkin ada Tuhan atau Dewa yang menganjurkan pembunuhan serupa Bom Bali tersebut. Setahu saya hanya Ares yang gemar sekali dengan pembantaian.
Ketakutan dan doktrin yang kuat dapat memberikan efek yang luar biasa pada mental seseorang. Menurut kakak Amrozi, ketika Amrozi masih di Indonesia menjadi seorang mekanik motor, dia adalah pribadi yang biasa-biasa saja, tidak tampak adanya indikasi idealisme ekstrim pada dirinya. Hingga suatu saat Amrozi pergi ke Malaysia untuk mengadu nasib. Di sana dia bertemu dengan kakaknya, Mukhlas. Nah sejak saat itulah mulai tampak adanya perubahan pada diri Amrozi, pola pikir dan idealismenya berubah menjadi tambah radikal. Begitu kata kakak Amrozi.

Namun bagaimana dengan hukuman mati yang diterapkan pada mereka? Apakah itu akan meyelesaikan lingkaran terorisme yang mungkin akan terjadi lagi? Saya pikir bahwa hukuman mati bukanlah jalan yang paling beradab untuk diberlakukan kepada mereka. Sudah tidak jamannya lagi diterapkan hukum balas dendam ala Hamurabi. Sekarang ini tidak lagi beradab kiranya jika memperlakukan hukuman mata balas mata, nyawa balas nyawa, itu sama sekali tidak berperikemanusiaan. Semua orang setuju bahwa tujuan hukuman adalah menyadarkan seseorang akan kesalahannya. Hukum berfungsi untuk menghilangkan kebiadaban yang sedang menjangkiti seorang manusia, bukan menghilangkan manusianya. Hukum seharusya berguna untuk memberikan pelajaran bagi para kriminal agar mereka jera. Nah hukuman mati tidak termasuk hukum yang dimaksud, karena hukuman mati sifatnya balas dendam dan membasmi. Tidak baik jika kriminal dipandang sebagai hama, kemudian dibasmi. Jika kita memperlakukan hukuman macam itu maka kita juga biadab, maka kita sama brengseknya dengan para kriminal yang bersalah tersebut.

Hidup adalah hak setiap orang di muka bumi ini, dan hak asasi manusia harus dijunjung tinggi di atas semua hukum yang berlaku di republik ini dan di seluruh dunia. Biarkanlah para pelaku kesalahan tetap memiliki sebuah peluang untuk menyadari kesalahan yang mereka perbuat, mereka berhak mendapatkannya. Tetapi lantas bagaimana dengan keluarga para korban bom Bali, tidakkah mereka juga patut mendapatkan keadilan? Bukankah eksekusi dapat menghadirkan kembali keadilan yang telah lama mereka dambakan? Sungguh mengharukan bahwa beberapa keluarga korban dari pihak Australia tidak menyetujui dengan adanya rencana hukuman mati tersebut. Mereka berpendapat bahwa hukuman mati tidak akan merubah apapun. Bahkan yang lebih mengharukan lagi adalah keluarga korban dari pihak Bali, pengikut paguyuban Anand Ashram. Pasca eksekusi mereka malah mendoakan agar arwah para pembunuh keluarga mereka dapat diterima oleh Tuhan yang maha kuasa disisiNya. Benar-benar suatu ketulusan yang luar biasa, suatu kebesaran hati yang sangat langka! Mereka menerima musibah dengan lapang dada. Meskipun hancur perasaan mereka, tetapi perikemanusiaan tetap ada dan mereka junjung tinggi. Semoga budi pekerti mereka dapat menjadi contoh luhur para keluarga korban yang lain.

Sejahat dan sekeji apapun, mereka tetap manusia dan kita harus berkeyakinan bahwa mereka pasti bisa berubah. Ya saya setuju bahwa mereka harus dipenjara, dan memang orang jahat seperti mereka tidak boleh dibiarkan berkeliaran diantara orang baik-baik, karena dikhawatirkan kebiadaban mereka dapat menular. Itulah fungsi penjara, lembaga pemasyarakatan, yaitu suatu lembaga yang bertugas mengajari pelaku kejahatan supaya mereka bisa menjadi orang baik-baik didalam masyarakat, sekeluar mereka dari penjara. Bagaimana jikalau ada seorang penjahat yang sama sekali tidak bisa berubah? Ya biarkan saja dia tetap hidup dalam penjara sambil terus dibimbing setiap hari. Penjara melindungi masyarakat dari para penjahat seperti itu, dan seharusnya bisa mencegah hukuman mati bagi pelanggar hukum berat. Saya teringat akan pesan yang disampaikan oleh seseorang kepada saya bahwa, “setiap orang pasti berguna dalam hidup ini, selama kita tahu apa yang tepat utuk mereka,” katanya. Dalam kasus bom Bali,saya yakin memberikan hukuman mati hanya akan melahirkan imam samudra-imam samudra baru. Sistem penjara pun harus kita perhatikan. Dalam penjara, seseorang seharusnya diberi perhatian yang lebih sebagaimana layakya manusia, bukan diperlakukan seperti kriminal ataupun sampah masarakat. Pola pikir kita terhadap memeberikan hukuman harus diubah, dari “menghukum dan membuat jera mereka” menjadi “memanusiakan dan memberikan kasih sayang kepada mereka”. Apakah kita sudah bisa mewujudkan itu? Ah…saya bawa dulu dalam tidur dan mimpi saya. wassalam

Lingkaran luar, lingkaran dalam, lingkaran paling dalam.

Malam ini saya kesulitan tidur lagi, pikiran saya tidak bisa diam, kesana kemari memikirkan yang tidak-tidak. Sudah sekitar lima belas menit saya berjuang untuk tidur namun gagal. Namun setelah beberapa saat, akhirnya pikiran saya mulai terasa tidak masuk akal, ngglambyar-konyol, yang menandakan bahwa saya dalam keadaan separuh sadar-separuh mimpi. Setelah beberapa saat tiba-tiba saya dikejutkan dengan rasa gatal panas di jempol kaki saya, seekor nyamuk putih, yaitu sejenis nyamuk yang memiliki sayap berwarna putih yang gigitannya sangat sakit dan panas, menggigit jempol kaki saya dengan ganas. Kemudian saya mengambil obat nyamuk semprot, dan saya semprot kamar saya, dengan tidak lupa membuka jendela kamar, agar nyamuk-nyamuk itu tidak mati dan pergi dari kamar. Saya keluar kamar bersama laptop saya, untuk menghindari bau obat nyamuk tersebut. Dan di ruang tamu rumah saya, akhirnya saya menulis ini.

Dalam hidup ini kita semua selalu dikelilingi oleh banyak orang di sekitar kita, ada beberapa diantara mereka yang menyenangkan, biasa-biasa saja, dan sebagian malah terasa menjengkelkan. Saya pribadi memilih dan memilah-milah orang-orang kedalam lingkaran luar, lingkaran dalam, dan lingkaran paling dalam. Jadi saya tidak bisa memandang semua orang disekitar saya sama saja, tidak, beberapa orang harus saya buat spesial. Tolok ukur dari lingkaran itu adalah kecocokan atau kedekatan saya dengan orang yang bersangkutan. Tentu saja cara memandang kecocokan dan kedekatan itu tidak didasarkan pada tradisi, SARA atau kekayaan seseorang. Saya tidak pernah tega membedakan seseorang dari kecerdasannya, dari status sosialnya dan dan dari banyaknya duit yang mereka punya.

Lingkaran luar berisi kenalan, teman biasa dan teman baik. Mereka ini biasanya terdiri dari teman-teman kampung biasa, teman organisasi biasa, sanak saudara-famili biasa, teman bisnis biasa, teman SD, SMP, dan SMA biasa. Terhadap orang-orang seperti ini saya tidak memiliki rasa rindu atau kangen yang mendalam, demikian juga dengan mereka, saya rasa mereka tidak akan memiliki kerinduan yang mendalam terhadap saya. Hubungan dengan orang-orang di lingkaran luar selalu biasa-biasa saja, tidak pernah terlalu spesial. Jadi saya menyenangi teman-teman saya dan berusaha selalu antusias berbicara dengan mereka (hanya yang baik dengan saya), namun jika kami sudah lama tidak bertemu, saya tidak terlalu merasa kangen.

Lingkaran dalam adalah orang-orang yang dulunya berasal dari lingkaran luar, yang kini sudah saya masukan ke dalam lingkaran dalam. Lingkaran dalam terdiri dari sahabat, dan sahabat dekat. Sahabat seringkali berasal dari beberapa teman biasa yang memiliki hobi dan kegemaran yang sama, sehingga banyak sekali kegiatan hobi yang saya lakukan bersama mereka membuat saya rindu. Terhadap sahabat seperti ini saya bersedia memberikan bantuan kepada mereka tanpa meminta diberi imbalan apapun. Namun jika sahabat seperti ini macam-macam terhadap saya, atau bertindak tidak sepatutnya, atau bertindak tidak senonoh, atau menyerang dan menyakiti saya, maka saya tidak akan menganggap dia sebagai bagian dari lingkaran dalam lagi, dan saya akan memperlakukannya seperti teman biasa.

Sahabat dekat, adalah sahabat-sahabat yang sudah pernah meluangkan banyak waktu mereka bersama saya. Meluangkan banyak waktu bersama adalah indikasi sebuah kecocokan, tidak mungkin orang bisa meluangkan waktu secara bebas jika tidak ada kecocokan diantara mereka. Sahabat dekat selalu pernah berkali-kali mengadakan diskusi dan saling bercerita. Jadi saya tahu banyak hal tentang mereka, selera makan mereka, masa kecil mereka, dan kejadian-kejadian penting dalam hidup mereka. Karena ini adalah sahabat dekat, tidak mungkin mereka menyerang, bertindak tidak senonoh atau bertindak yang tidak baik kepada saya. Saya percaya penuh kepada mereka

Lingkaran paling dalam adalah lingkaran yang ada karena sumpah. Jadi lingkaran dalam itu ada karena saya bersumpah bahwa lingkaran itu ada. Lingkaran paling dalam terdiri dari orang yang saya anggap sebagai saudara, dan orang tua saya (dan istri, tapi masih belum punya). Terhadap orang tua, saya memuliakan beliau seperti dalam perintah agama, sebisa mungkin saya membahagiakan mereka dan menyayangi mereka. Seorang anak selalu bersumpah untuk menyayangi orang tua mereka, dia akan meniatkan kasih sayangnya secara tidak berbalas.
Orang yang saya anggap sebagai saudara adalah, orang yang banyak memiliki kesamaan misi. Saudara seharusnya hanya ada satu orang saja. Kebaikan seorang saudara adalah konsisten dan teruji oleh waktu, dia banyak melakukan hal-hal yang menurut saya baik.Dia berasal dari lingkaran luar, berpindah beberapa kali hingga masuk kedalam lingkaran paling dalam… hingga saya memutuskan dia menjadi seorang saudara. Sudah tidak mungkin ada lagi iri hati, tidak mungkin lagi ada sakit hati. Niatan baik bagi seorang saudara adalah tidak berbalas, seperti halnya niatan berbuat baik kepada orang tua, tidak akan pernah mengharapkan balasan apapun. Selalu ada sumpah bagi lingkaran paling dalam, dan sumpah saya untuk saudara saya adalah komitmen melindungi. Kegembiraannya adalah kegembiraan saya, kesusahannya adalah kesusahan saya juga. Tidak ada orang lain yang boleh memaksakan kehendak pada saudara saya. Tidak mungkin saya meninggalkan dia sendiri dalam penderitaan kecuali dia mengharapkan saya demikian. Dan sikap rela berkorban bagi seorang saudara adalah sebuah keikhlasan, saya tidak pernah berharap bahwa saudara saya melakukan hal yang serupa dengan saya.

Istri adalah adalah belahan jiwa katanya. Berhubung saya belum punya istri, dari pada saya dibilang sok tahu, sebaiknya saya tidak menuliskan apa-apa.

That’s all amigo.

Minggu, 11 Januari 2009

Beladiri, Martial Art, Selbsverteidigung (bagian 2)

Karate, Judo, Sambo, Jiujitsu, Capoeira, Kalari, Savate, Tang So Do, Grecko Roman Wrestling, Kung Fu, Pencak Silat, Aikido, Hapkido, Jet Kune Do, Mo Yea Do, Tae Kwon Do, Pancrase, Kurjaga, Kendo, Kenjutsu, Naginata, Krav Maga, Western Boxing, Tai Chi Chuan, Kenpo, Kali Arnis, Dumog, Ku’I’alua… ada lagi, apakah ada yang kurang? Yang mana sih diantara beladiri di atas yang paling efektif?

Sebelum kita mengetahui beladiri mana yang paling efektif, sebaiknya kita harus mengetahui dulu konsep tentang beladiri. Apa sih beladiri itu? beladiri adalah sekumpulan teknik menyerang dan bertahan yang dirangkum menjadi satu dalam sebuah sistem beladiri, yang motivasinya adalah menguasai lawan yang hendak menguasai kita. Dalam kehidupan sehari-hari apabila tidak mungkin ada intimidasi dari seseorang yang ingin menguasai kita dengan kekerasan, maka beladiri boleh kita tinggalkan. Untuk beladiri saya lebih senang menggunakan istilah teknik beladiri, dari pada seni beladiri. Lantas apa bedanya? Dalam pemahaman saya tentu ada perbedaan mencolok antara seni dengan teknik. Dalam banyak hal, seni dan teknik seringkali dipraktekan bersama-sama, karena kegiatan seni tertentu menuntut penguasaan teknik tertentu, sebaliknya kegiatan teknik tertentu juga membutuhkan penguasaan seni tertentu. Contohnya adalah seni merawat rambut, harus ada keseimbangan antara teknik dan seni. Jika seorang pencukur rambut hanya memperhatikan teknik, tidak ada seni, maka gaya rambut hasil kerjaannya akan minimalis, kuno, dan pelanggan tidak mau kembali. Sementara jika seorang pencukur hanya tahu seni, tanpa membekali dirinya dengan teknik yang memadai, maka kerjaanya akan amburadul, runyam, banyak pelanggan yang akan complain. Maka menurut saya kegiatan memotong rambut adalah seni, seni memotong rambut.

Lantas bagaimana dengan kegiatan seorang teknisi listrik atau elektro, bisakah pekerjaan mereka disebut sebagai seni? Ya mungkin saja bisa, namun kebanyakan orang akan cenderung sepakat bahwa jenis pekerjaan mereka lebih termasuk ke teknis dari pada seni. Jadi mungkin istilah kegiatan teknis lebih dimaksudkan pada kegiatan menyelesaikan suatu masalah tertentu dengan kecenderungan mengorientasikan pada tujuan “berhasil guna” daripada tujuan artistik dan keindahan. Jadi sebaiknya beladiri juga harus memiliki orientasi yang sama dengan kegiatan teknis yaitu tujuannya adalah berhasil guna, menghindarkan diri dari bahaya, tidak indahpun tidak apa-apa asal bisa selamat. Menurut saya beladiri boleh-boleh saja tidak sedap dipandang mata, karena gerakannya tidak mengandung unsur acrobat, namun cenderung simple, efektif dan mematikan. Makanya saya lebih senang dengan istilah teknik beladiri daripada seni beladiri, untuk memisahkan antara beladiri sungguhan dengan beladiri-beladirian.

Katanya beladiri sudah ada sejak jaman dahulu kala, jauh sebelum agama-agama samawi ada. Beladiri mengiringi sejarah perkembangan kebudayaan manusia. Orang-orang Cina kuno menggunakan suatu teknik sederhana untuk bertahan dari binatang buas, kemudian malahan teknik itu mereka kembangkan dengan mencontoh gerakan-gerakan binatang tertentu. Di pulau Jawa, pencak silat Bawean dikembangkan oleh sepasang suami istri sehabis mereka melihat dua monyet berkelahi. jadi inti dari beladiri klasik adalah sekumpulan teknik-teknik indah yang mereka contoh dari alam dengan motivasi untuk mengalahkan lawan, sesuai pengetahuan menurut jaman mereka masing-masing. Jadi konsep beladiri adalah sama, apapun jenis beladiri itu, yaitu berusaha selamat dari suatu konflik, bukan pertunjukan tari-tarian.

Dengan prinsip bahwa beladiri adalah suatu metode untuk menyelamatkan diri dari suatu konflik, maka seharusnya beladiri harus juga mengalami improvisasi. Seperti halnya obat-obatan yang harus diperbarui sedemikian rupa untuk mengikuti perkembangan penyakit yang semakin kompleks, maka beladiri juga harus direformasi sedemikian rupa guna mengikuti perkembangan akal manusia. Beladiri seharusnya bisa mengakomodir kebutuhan manusia untuk selamat dari suatu konflik, karena itulah beladiri harus serius dengan teknik-teknik sederhana, mudah dikuasai, mudah dilakukan, sehingga berhasil guna dalam praktiknya. Apa gunanya jika beladiri, apabila beladiri tersebut lebih diutamakan pada hal-hal lain daripada untuk kegunaan pembelaan diri. Di dalam masyarakat, berkembang disiplin-disiplin semacam olah kebugaran yang memiliki wajah dan identitas seperti beladiri. Disamping olah kebugaran, identitas beladiri juga sangat sering dipakai dalam pertunjukan seni, akrobatik bahkan terapi penyembuhan dari penyakit kecanduan narkoba. Tidak ada yang negatif dalam kegiatan-kegiatan ini, tentu saja. Hanya saja apabila ada seseorang yang bersikeras mengatakan bahwa kegiatan-kegiatan seperti ini dianggap sebagai beladiri… sepertinya kok aneh banget gitu. Tolok ukur beladiri yang menurut saya ideal adalah, metode-metode pembelaan diri yang diajarkan di gym-gym Amerika, yang kini mulai berkembang di kota-kota besar di Indonesia, yang berfokus pada cara efektif untuk melindungi diri dari kriminal, dengan mengandalkan teknik logis sederhana tapi efektif dan mematikan. Klub-klub yang seperti inilah yang biasanya melahirkan fighter-fighter handal.

Bagi calon-calon pebeladiri yang sekarang sedang melakukan survei institusi beladiri yang akan diikuti, silahkan memilih beladiri sesuai dengan karakter anda. Pertama-tama anda harus mengetahui apa motivasi anda sebenarnya, mengapa anda ingin bergabung dengan salah satu cabang beladiri. Apakah anda disuruh-suruh orang tua? Apakah anda ingin sekadar mengisi waktu luang? Apakah anda terprovokasi oleh media atau film? Apakah anda ingin berorganisasi dan mencari teman? Apakah anda ingin bugar? Apakah anda ingin kelihatan lebih gagah? Apakah anda menginginkan kemenangan? Atau apakah anda menginginkan keamanan lebih atas pribadi anda? Jika motivasi anda lebih cocok dengan pertanyaan enam pertama, maka terserah anda mau pilih beladiri apapun, tidak menjadi soal. Namun jika motivasi anda lebih cocok dengan dua pertanyaan terakhir, maka saya bisa merekomendasikan sesuatu.

Jika anda ingin memenangkan pertandingan satu lawan satu full body contact, saya anjurkan anda untuk bergabung dengan akademi Brazilian Jiu-jitsu. Perlu anda ketahui bahwa Brazilian Jiu-jitsu adalah beladiri ground grappling (gulat yang sebagian besar dilakukan di atas tanah) dengan sedemikian banyak rupa teknik mengunci yang masuk akal. Di sini anda akan diajarkan untuk ulet, mempergunakan lebih banyak otak untuk mengaplikasikan teknik, ketimbang menggunakan banyak tenaga otot. Anda akan dituntut untuk menghemat tenaga anda dengan memanipulasi gerakan-gerakan gulat tanah yang rumit, guna memprovokasi lawan untuk menghabiskan tenaganya. Anda akan banyak diajari teknik-teknik bergulat dengan memanfaatkan tanah/ lantai sebagai partner anda untuk mengalahkan lawan. Selain Brazilian Jiu-jitsu anda juga dapat mempelajari teknik Gulat Grecko-Roman, Sambo, atau Judo, untuk mematangkan kemampuan anda dalam bertanding. Perlu diketahui, bahwa kemahiran ber-grappling perlu sekali dikuasai untuk memenangkan suatu pertandingan. Perlu sekali saya beritahu bahwa seringkali diperlukan banyak uang untuk bergabung dengan Institusi Brazilian Jiu-jitsu. Namun ada beberapa kelemahan dalam Brazilian Jiu-jitsu, ada beberapa kondisi yang tidak mendukung kita mempraktekannya. Dalam serangan jamak kita tidak mungkin pakai teknik ini, demikian juga bila kita sedang berada di lingkungan pasar yang becek dan bau, tidak mungkinlah kita “gulung-gulung” di tanah basah air comberan. Jijai…

Bagi anda yang menginginkan keamanan lebih atas pribadi anda, lebih-lebih bagi anda para wanita, maka saya sarankan bagi anda untuk bergabung dengan organisasi beladiri Krav Maga. Dalam perkembangannya, teknik Krav Maga sering di-improvisasi oleh para Haganah, tentara Israel, dari rutinitas nyata mereka yang penuh dengan konflik. Jadilah beladiri yang super agresif, super reflek, dan bisa sangat mematikan. Beladiri ini sangat pro pada perkelahian fisik nyata, yang berorientasi pada penyelesaian masalah secepatnya tanpa tetek bengek. Tidak ada idealisme konyol dalam beladiri ini, tidak boleh hanya idealis pada grappling saja, atau pukulan dan tendangan saja. Jika anda dituntut untuk menghemat tenaga dalam beladiri Brazilian Jiu-jitsu, maka pada Krav Maga anda dituntut untuk menghentakan tenaga anda seluruhnya dalam waktu yang sangat pendek, seperti meledak, dengan tujuan untuk meringkus musuh atau membunuhnya. Beladiri ini akan mengajarkan kepada anda di titik tubuh lawan mana anda harus memukul atau menendang. Semuanya oke tentang beladiri ini, hanya saja ada sebuah masalah agak berat disini. Anda membutuhkan biaya yang sangat besar untuk bisa bergabung dengan beladiri ini, dan anda harus lakukan di luar negeri. Jangan harap dalam waktu dekat akan ada sekolah Krav Maga di Indonesia, karena kebanyakan manusia Indonesia akan menolak segala sesuatu yang berbau Ibrani. Namun jika anda beruntung, anda akan menemukan sekelompok pemuda yang berlatih Krav Maga secara underground di Malang.

Semoga kita semua selamat.

Keluarga Suk Hengky dan Ai Lia

Malam ini saya bermalam di rumah Suk Hengky, hingga saya mengetik ini saya masih di rumah beliau. Saya datang sekitar jam 18:30. Beberapa hari sebelumnya saya sudah memohon ke Ai Lia (istri tercinta Suk Hengky) supaya diijinkan untuk karaoke di dirumah beliau, dan beliau membolehkan. Suk Hengky dan Ai Lia adalah orang tua dari Hen-hen, seorang kenalan yang kini sudah menjadi teman dekat.

Malam itu saya datang dengan membawa empat kaset, terdiri dari satu kaset tembang Budhis, dan tiga kaset lagu Country. Lagu Country saya itu berisi lagu-lagu Pop semi Country jaman dalu sekitar tahun 70-an. Dari karaoke sebelumnya saya tahu kalau Suk Hengky suka sekali dengan lagu jaman dahulu, mungkin untuk mengenang masa mudanya kali.

Ada dua anak India yang bernyanyi bersama kami, namanya Akash Sharma, dan Mohsin Alam. Mereka adalah dosen Universitas Machung (universitas Tionghoa di Malang), yang satu dosen bahasa Inggris, dan yang satunya lagi adalah dosen IT. Mereka turut bernyanyi bersama kami, sekena-kenanya, sebisa-bisanya, karena mereka tidak biasa dengan musik Pop Country jaman dahulu. Maklum saja mungkin mereka terbiasa menyanyikan lagu-lagu Bollywood India. Adapun judul lagu-lagu yang saya nyanyikan adalah Take Me Home Country Road, Ginny Comes Lately, The Rivers Of No Return, Stoney, Let It Be Me, Only You, Massachussets, Love Is Blue, Sayonara, Somewhere Between, Achy Breaky Heart dan Boulevard. Kadang-kadang diselingi dengan musik Campur Sari, dan lagu-lagu Mandarin.

Kami bernyanyi bersama hingga jam 3 pagi, keras-keras, karena rumah mereka jauh dari rumah tetangga. Keluarga ini memiliki sebuah sound system besar di ruang keluarga mereka, yang mirip-mirip dipakai untuk acara pernikahan di kampong-kampung. Saya senang dengan keluarga ini karena kentalnya suasana keluargaan. Mereka senang sekali berbicara keras-keras diantara mereka sendiri. Jika mereka lagi guyon, hoho, bagi yang tidak terbiasa pasti dikira bahwa mereka sedang bertengkar. Saya tidak perlakukan sebagai seorang yang asing, meskipun saya baru mengenal keluarga ini. Ai Lia selalu memberi saya kue, dan beliau tidak pernah perhitungan jika mengajak saya keluar untuk makan di restoran. Bahkan sering kali saya sampai sungkan sendiri, karena tidak jarang beliau mengajak saya ke rumah makan mahal.

Sebenarnya bukan Ai Lia saja yang sering membawa saya ke restoran mahal. Kevin, seorang teman Amerika juga beberapa kali membawa saya makan di restoran mahal, seringkali beberapa kali makan di restoran hotel. Namun si Kevin melakukan itu karena dia memang membutuhkan saya, jadi dalam suatu perjalanan tertentu ketika dia membutuhkan seorang penerjemah, maka saya diajak, dan dibayar dengan makanan mahal. Apabila Kevin melakukan semacam hubungan dagang dengan saya, maka tidak demikian dengan Ai Lia. Beliau memang senang mengajak saya bertemanan, kata beliau teman anak-anaknya adalah temannya juga. Tidak pernah sekalipun saya disuruh-suruh melakukan sesuatu, bahkan jika saya memaksa untuk mencuci piring bekas makan saya, maka beliau akan marah.

Pelajaran baru bagi saya bahwa tidak banyak keluarga yang sedemikian menyambut saya. Dan saya ingin jika saya besok-besok berkeluarga, maka saya akan membuat keluarga saya mirip-mirip seperti model keluarga Suk Hengky, di mana kekompakan diantara anggota keluarga sangat diperhatikan, dimana suasana keceriaan benar-benar dijaga, dimana orang tua sangat menghargai tamu anak-anaknya.

Saya senang dengan keluarga ini.

Pemandangan menyedihkan di pinggir jalan

Suatu malam yang larut, dalam perjalanan pulang dari rumah teman, sehabis memukuli wajah Eng habis-habisan di sana (berusaha mengajari seorang teman dekat seorang praktisi Tae Kwon Do, tentang mekanisme suatu perkelahian bebas, full body contact), saya melewati depan segerombol plastik terpal warna oranye bekas cover bak truk yang ditata rapih di pinggir jalan. Saya lihat ada sebuah kepala keluar dari plastik itu dengan wajah membelakangi saya. Disebelahnya Ada sebuah penjual masakan Cina gerobak (Jawa mi duk), yang saya lalui dengan lekas. Kemudian muncul satu pikiran tertentu semacam kesadaran bahwa saya akan merasa bersalah jika saya mengabaikan atau tidak tergerak untuk mengecek segerombol plastik itu.
Sesudah sekitar limapuluh meter melewati terpal itu, saya baru memutuskan untuk memutar-balikan sekuter saya, berjalan pelan-pelan menghampirinya. Memang hanya kelihatan muncul satu kepala dari dalam terpal itu, namun melihat ukurannya, sepertinya terpal itu berisi sekitar tiga orang gembel. Maka segera saya memesan tiga nasi goreng untuk mereka (para gembel itu) kepada penjual mi duk tersebut. Namun ketika saya sedang memesan, saya juga sempat melihat seorang wanita tua diseberang jalan, yang kalau dilihat dari pakaiannya sepertinya dia mengalami gangguan jiwa alias gila. Maka saya pesan empat nasi goreng.

Setelah nasi-nasi goreng itu masak, saya membawa tiga bungkus nasi goreng mendekati segerumbul plastik terpal yang terdapat orang-orang malang didalamnya. Saya bangunkan laki-laki tersebut dengan menggoncang-goncangkan badannya, sulitnya minta ampun, mungkin karena dia sangat kelelahan. Begitu dia terbangun, dia sangat kaget dan takut… namun saya hanya berusaha tersenyum ramah dan mendekatkan tiga bugkus nasi goreng ke wajahnya, supaya dia bisa membaui aroma nasi goreng tersebut. Beberapa saat setelah dia mengetahui maksud saya, dia segera membangungkan dua orang lagi yang ada di dalam terpal memilukan itu (ternyata benar sekali tebakan saya bahwa ada tiga orang didalamya). Betapa saya terkejut karena salah seorang diantara mereka adalah seorang bocah berusia sekitar sepuluh tahunan. Bocah sepuluh Tahun! Menjadi nomaden, mengembara tidak punya rumah dengan bapak-ibunya! Kasihan sekali saya.

Setelah tiga nasi goreng saya berikan kepada para tuna wisma tersebut, saya beralih menuju nenek tua gila yang ada di seberang jalan dan memberikan sebungkus nasi goreng padanya. Kondisinya memilukan, ada sebuah luka di kakinya, bau badannya pesing pekat sampai membuat saya pusing bukan main. Namun tentu saja saya tidak tega menutup hidung saya di depannya. Saya berikan sebungkus nasi goreng itu dan meninggalkan dia.
Saya ulangi lagi hal itu beberapa kali, hingga beberapa hari kedepan, hingga mereka tidak tampak lagi keberadaannya di pinggir jalan.

Suatu saat saya ajak Okky, seorang sahabat muda, memberikan pangsit mie kepada mereka untuk mengajarinya konsep berbagi kepada orang-orang miskin. Kadang-kadang saya memperhatikan gembel-gembel dan nenek gila itu dari jarak jauh. Saya heran baik orang-orang gembel ataupun orang gila itu tidak kelihatan sedang mengemis atau mau mengemis. Jauh lebih heran lagi ketika saya tidak menemukan salah seorangpun dari puluhan orang yang berlalu-lalang di depan orang-orang malang itu, tergerak hatinya untuk memberikan sedikit sesuatu yang mereka miliki, meskipun orang-orang malang itu tidak meminta. Saya sangat heran, kok tidak peka sih mereka?

Manusia cenderung berbuat baik hanya kepada orang-orang yang mereka kenal, orang dekat mereka, serta sanak dan famili. Sedemikian tidak pekanya sehingga mereka tidak dapat mengenali penderitaan orang-orang yang tepat di depan wajah mereka. Kebanyakan orang memiliki cukup dana untuk dibelanjakan pada barang-barang tersier (hair spray mahal, parfum mahal, cat rambut mahal) untuk membuat diri mereka sendiri tampak wah, namun banyak dari mereka kemudian merasa tiba-tiba tidak cukup punya uang jika mereka diharuskan untuk berbagi dengan orang malang merana yang membutuhkan kasih sayang.

Saudara-saudara saya sekalian, sisakanlah beberapa ribu rupiah dari dompet anda, jangan habiskan semuanya untuk anda sendiri. Jadilah peka, jadilah manusia berjiwa sosial, pikirkan mereka para nomaden di pinggir jalan, kasihanilah orang-orang malang yang tidak memiliki apapun kecuali hanya badan mereka yang bau. Berikan sebagian dari beberapa ribu rupiah anda kepada mereka, karena hanya kepada anda mereka berharap belas kasih. Tidak ada yang memperdulikan nasib mereka, Negara terlalu sibuk dengan segala tetek bengek politik daripada untuk mengurusi para gembel. Orang-orang yang mengaku beragama penyembah Tuhan terlalu sibuk mengumpulkan uang untuk biaya ziarah ke Mekkah, Jerusalem, atau ke India. Pemimpin agama dan ulama yang seharusnya lebih mengerti tentang perikemanusiaan, lebih memilih mengalokasikan dananya pada kemegahan rumah ibadah, yayasan, partai, umat mereka sendiri yang miskin… tidak ada yang peduli pada gobel dan gembel.

Berikan kasih sayang kita pada para nomaden yang malang itu, kita pasti bisa, dan gampang sekali. Just do it, turun ke jalan beri mereka makan. Jangan menunggu anda menjadi orang kuat nanti di kemudian hari, menjadi orang kaya, berpengaruh atas kebijakan di pemerintahan, tetek bengek… jangan seperti itu, jangan menunggu saat yang paling tepat untuk menolong. Sekarang adalah saat yang paling tepat untuk menolong mereka. Jika ada banyak orang yang berlaku seperti anda, tidak akan ada lagi orang yang kelaparan.

Semoga Tuhan melindungi mereka para nomaden malang itu.

Beladiri, Martial Art, Selbsverteidigung (bagian 1)


Ada yang ikut institusi beladiri untuk hanya sekedar untuk mengisi waktu, ada yang karena di suruh oleh orang tua, ada yang sekedar untuk gaya-gaya saja, ada pula yang sekaedar ingin cari sensasi baru… kelompok ini saya sebut kaum oportunis, jumlahnya melimpah. Namun demikian ada juga beberapa orang yang bergabung dengan institusi beladiri untuk serius, berfokus dan benar-benar ingin mempelajari teknik beladiri dengan segala macam atributnya, kelompok ini saya sebut dengan kaum idealis.

Orang-orang dari kelompok terakhir ini seringkali terlihat mewarnai kehidupan mereka dengan identitas-identitas beladiri. Bagi mereka, ada suatu kebanggaan tersendiri jika mereka keluar rumah dengan memakai jaket dengan tulisan Karate, Tae Kwon Do, atau Capoeira… di punggung atau dada jaket mereka. Orang-orang seperti ini selalu berpikir dan merasa bahwa mereka satu tingkatan lebih pandai dari pada orang kebanyakan dalam hal berkelahi. Kaum idealis mendedikasikan hidupnya dengan membiarkan dirinya “direnggut” oleh beladiri, artinya mereka rela bersakit-sakit, memberikan waktu mereka, dan (seperti saya bilang tadi) membiarkan diri mereka diwarnai oleh beladiri.

Namun dalam penilaian saya, kaum idealis masih terbagi menjadi dua golongan lagi. Yang pertama adalah golongan Martial Artist, yang mudah dikenali dengan kefanatikannya yang sangat kental, jumlahnya jarang. Dan yang kedua adalah golongan Fighter, yang mudah dikenali dari sikap pembosannya, pemberontaknya, dan selalu berinisiatif untuk berimprovisasi, jumlahnya sangat sedikit. Golongan yang pertama, kaum Martial artist ini biasanya terdiri dari orang-orang cerdas, memiliki disiplin tinggi, dan seringkali mereka adalah organisator yang ulet dan handal. Mereka sangat setia dengan satu jenis beladiri dan teknik-tekniknya. Dalam tataran awal-awal ketika mereka masih baru dengan beladirinya masing-masing, mereka kelihatan menonjol dalam kecepatan mempelajari suatu teknik, kepatuhan pada peraturan dan disiplin, serta kerelaan melayani senior mereka. Jadi mereka akan senang jika disuruh-suruh oleh senior mereka membantu tugas mengatur organisasi. Dalam segala hal mereka sangat sempurna dan meyakinkan kecuali dalam satu hal, yaitu kemampuan bertarung mereka yang justru dipertanyakan.

Umum sekali diketahui bahwa kaum Martial Artist seringkali memenangkan dan menjuarai pertandingan-pertandingan yang diadakan oleh institusi mereka masing-masing. Namun ini bukanlah berarti bahwa mereka pandai bertarung, dalam pengertian bahwa mereka mereka pandai berkelahi sungguhan. Dalam praktek latihan, mereka tampak sangat menguasai teknik pukulan, tendangan, bantingan dan bahkan kuncian. Harus dimengerti bahwa terdapat perbadaan yang sangat mencolok antara perkelahian nyata dengan perkelahian simulasi yang disajikan dalam sebuah pertandingan kebanyakan sekolah beladiri tradisional. Biasanya di dalam sebuah pertandingan yang diadakan oleh institusi beladiri tradisional, telah diberikan begitu banyak peraturan untuk menghindarkan praktisinya dari cidera. Ok memang pertandingan harus ada aturan, saya tahu. Namun aturan-aturan tersebut seringkali membuat praktisi bertanding sangat terbatas pada masing-masing style yang telah ditentukan, cenderung mengejar skor, alih-alih menundukan lawan dengan variabel teknik hingga lawan tidak berkutik alias menyerah. Jadi mereka cenderung otot-ototan memukul, menendang, membanting, mengunci, atau adu keakuratan pukulan dari pada berpikir dan berstrategi bagaimana membuat lawan roboh dan menguasainya.

Kaum Martial Artist cenderung tenggelam dalam fantasi-fantasi yangdi warisi dari azas-azas institusi beladiri mereka masing-masing. Cara berkelahi mereka cenderung kelihatan tidak rasional, kental dengan warna beladiri tradisional, dengan ditandai sering munculnya style dan acrobat dalam setiap kali serangan. Tentu saja mereka berpikir dan pakai logika, tentu saja mereka sudah berusaha keras dan ulet, dan ini sangat patut dihargai, hanya saja gaya bertarung mereka kurang sejalan dengan mekanisme perkelahian sesungguhnya. Jika anda praktisi beladiri, mari berpikir sejenak dengan kepala dingin… adakah korelasi antara style dengan street fighting? Adakah korelasi antara salto, meroda, dan tendangan putar dengan perkelahian saling bunuh?

Lebih disayangkan lagi adalah banyaknya kaum Martial Artist yang sama sekali tidak menyadari bahwa apa yang mereka lakukan adalah benar-benar sudah keluar dari konteks tetek bengek tentang pembelaan diri. Jadi institusi beladiri yang mereka ikuti cenderung menggiring para praktisi kedalam satu olah mental, kedalam satu disiplin serta latihan kesehatan jiwa dan raga, dengan agak mengesampingkan realitas perkelahian. Ada beberapa jenis institusi beladiri yang menggiring praktisinya ke dalam suatu style tertentu sedemikian rupa, sehingga menjadi berpikir bahwa apa yang mereka lakukan adalah sebagai cara unik dan brilian untuk memenangkan perkelahian. Jadi pada praktik latihannya, praktisi dituntut untuk melakukan semua teknik harus dengan lembut, halus, serta mengalir. Lebih-lebih, para praktisi juga diarahkan untuk memanfaat energi lain selain energi otot dalam usaha pembelaan diri. Tidak ada sisi negatif dalam metode ini, namun saya akan lebih berpikir bahwa ini cenderung termasuk kedalam disiplin olahraga senam daripada teknik beladiri. Saya tidak berpikir bahwa kelembutan, kehalusan dan mengalir akan banyak membantu kita dalam keadaan darurat. Jadi saya lebih berpikir bahwa kebrutalan dan kekejaman yang akan lebih banyak menolong kita dalam situasi darurat (dalam keadaan terpaksa, membunuh atau dibunuh). Memang mekanismenya seperti itu, mau gimana lagi.

Golongan kedua dalam kaum Idealis adalah golongan Fighter. Golongan Fighter juga seringkali memiliki idealis yang kuat, sekuat idealisme kaum Martial Artist. Perbedaannya adalah jika kaum Martial Artist mencurahkan fanatisme mereka pada institusi dan teknik beladiri tertentu, sedangkan Fighter cenderung lebih menghormati realitas perkelahian nyata. Dalam tataran awal, ketika masih baru dalam suatu institusi beladiri, Fighter cenderung sering berperilaku berlebihan, seperti kelebihan energi, suka melakukan improvisasi sendiri, dan tidak menunjukan ke tertarikan pada aturan baku, jenjang, senioritas, tradisi serta status quo apapun bentuknya. Alih-alih berfokus pada satu institusi beladiri, Fighter cenderung melirik kanan kiri, mencoba ikut institusi beladiri lain, atau browsing di Internet, down load video teknik beladiri yang dia inginkan, kemudian ia improvisasi sendiri. Tujuan akhir seorang Fighter adalah selamat dari suatu konflik atau muncul sebagai pemenang dalam suatu pertandingan full body contact. Jika seorang Fighter memiliki style pemukul atau penendang, maka pasti badannya kuat, dan berlatih gila-gila an. Dan jika seorang Fighter memiliki style grappling, maka koleksi buku dan videonya pasti banyak.

Agak melenceng sedikit…………

Ada satu golongan atau tipe orang yang saya sebut dengan kaum Warrior, jumlahnya langka. Jika golongan-golongan dan kaum-kaum sebelumnya dibentuk atau terbentuk oleh suatu latihan tertentu, sehingga mereka unggul dalam perkara beladiri… maka kelompok yang saya sebut ini memiliki keunggulan tersebut diperoleh dari pemberian Tuhan. Jadi jika pebeladiri apapun bentuknya… menjadi seperti itu karena dibentuk atau dijadikan, maka para warrior menjadi seperti itu sejak mereka dilahirkan.

Jika kita membicarakan beladiri, maka seringkali kita membicarakan teknik beladiri tangan kosong dengan segala teknik tetek bengeknya. Namun jika kita membicarakan konflik serius, maka seringkali kita membicarakan keberanian, kenekatan, kekejaman, kebrutalan, multilasi dan senjata tajam. Ibarat tidak ada minyak mentega pun jadi… demikian pula seorang warrior, mereka itu seringkali tidak pernah mengenal beladiri atau tidak berminat pada beladiri, sehingga kemampuan bertarung mereka sangat dipertanyakan. Namun jangan salah, justru karena mereka lemah itulah mereka tidak segan menggunakan palu atau obeng untuk membunuh lawannya. Mereka tidak akan segan meremukan kepala lawannya dengan batu, atau melubangi jantung lawannya dengan garpu. Jadi warrior unggul karena kekejamannya. Seringkali diceritakan bahwa gampang sekali mereka menjadi dendam kesumat pada orang yang mengganggu mereka dan mengejar musuhnya itu dengan celurit, kemanapun, sejauh apapun musuh itu pergi.

Waduh kalau sudah kayak gini bisa runyam dong, beladiri tidak berdaya dengan hal-hal kayak gini, iya toh? Makanya bagi praktisi beladiri sebaiknya kita menjaga sikap, jangan pernah berpikir bahwa teknik yang kita latih pasti akan menyelamatkan kita, sehingga kita lupa daratan. Berbuat baiklah kepada semua orang, agar tidak terjadi konflik. Mungkin ada sebagian dari orang yang kebetulan membaca ini yang tidak setuju dengan pendapat saya, dan berkeras optimis bahwa teknik atau jurus yang mereka miliki sangat ampuh, untuk melawan ancaman apapun. Ya sudah terserah, sak karepmu. Tapi bagi saya pribadi, jika ini menyangkut palu, obeng, garpu atau celurit… saya pesimis aja deh sama teknik beladiri yang saya miliki… mendingan saya pakai Stunt Gun atau Red Pepper Spry aja biar slamet. Atau pakai teknik silat… silat… silat… silaturahmi. Dijamin ampuh.

Bayu Sandi.

Jumat, 09 Januari 2009

Semrawut

Indonesia semrawut kayak gini ini bukan hanya karena yang memimpin negara ini yang dinilai kurang, tapi rakyatnya memang maunya itu yang gampang-gampang saja. Semua orang pengin gampang dan yang simple-simple, saya tahu, tapi kalo semua hal dibikin simple maka ruwet jadinya. Dalam hal berlalu-lintas di jalan raya, seperti yang anda semua tahu ada “kebudayaan yang dijunjung tinggi” yaitu kebiasaan berkendara motor keluar gang tanpa tengok ke arah kanan terlebih dahulu. Seringkali saya jengkel dengan saudara sebangsa model kayak gini ini. Ketika saya sedang berkendara pelan, maka saya akan ambil jalur pinggir kiri untuk mempersilahkan kendaraan lain menyalip kendaraan saya. Kemudian tiba-tiba hanya beberapa meter di depan saya, seorang pemuda dengan motor sport nyelonong keluar dari gang, masuk jalan raya tanpa melihat arah kiri. Saya kaget minta ampun, tergopoh-gopoh menginjak rem mobil agak keras, menekan klakson sekuat-kuatnya… saya takut jika saya injak rem lebih keras lagi, motor-motor dibelakang saya akan menabrak mobil yang saya kendarai (karena mobil lebih mudah berhenti dari pada motor). Setelah saya klakson, pemuda itu berpaling kearah saya tanpa mengurangi kecepatan, menatap saya seperti tatapan seseorang yang ingin makan daging mentah, matanya merah, raut mukanya marah. Sampai-sampai saya ragu, yang salah itu saya atau dia sih?
Bukan hanya pemuda saja yang menjunjung tinggi budaya ngawur seperti itu. Beberapa kali lagi setelah itu saya mengalami peristiwa yang menjengkelkan seperti itu. Pelakunya pun berlainan, ada bapak-bapak, ibu-ibu, bahkan pengendara sepeda pancal. Kadang-kadang kita dihadapkan pada situasi kita diharuskan manyalip dari sebelah kiri. Ini melanggar peraturan saya tahu, namun ketika anda sedang dibelakang sebuah truk besar yang setengah “kehabisan napas” karena jalan menanjak, mau tidak mau anda harus menyalip dari arah sebelah kiri. Kita juga tidak bisa terlalu menyalahkan sopir truk, kalau anda mau pakai logika, dan kalau anda menjadi sopir truk berat itu… tidak mungkin anda mengikuti peraturan “bahwa berkendara lambat harus ambil jalur kiri” dengan menjalankan kendaraan puluhan ton itu (yang seringkali memiliki gandengan) di sebelah kiri, kemudian setiap saat zig-zag untuk menghindari gerobak penjual bambu, bakso, sepeda pancal pembawa rumput… tidak mungkin, tidak mungkin terlalu beresiko. Tidak mungkin juga sopir truk tersebut membunyikan klakson besarnya di sepanjang jalan untuk mengusir para pengendara sepeda tersebut dari badan jalan, tidak mungkin.
Beberapa kali saya menyalib truk itu dari sebelah kiri. Di mana-mana kalau kita menyalib kendaraan, kita harus tancap gas untuk menghindari berlama-lama melaju berjajar dengan kendaraan besar tersebut, terlalu berbahaya. Nah disaat saya tancap gas itu, tiba-tiba ada seorang ibu-ibu yang keluar dari gang dengan motor super butut, tanpa menoleh dulu kearah kanan terlabih dahulu. Praktis saya tekan klakson sekuatnya, akibatnya ibu itu kaget dan tergopoh-gopoh membuang motornya keluar jalur aspal. Saya kasihan dengan ibu tersebut, namun saya juga jengkel. Masih untung dia tidak jatuh, yah tapi saya berharap bahwa ibu tersebut ambil pelajaran dari kejadian tadi.
Saking ingin simple-nya banyak orang yang ogah hanya dengan menoleh kesebelah kanan sebelum memasukan kendaraannya ke jalan raya. Saya pikir ini bukan masalah ingin simple atau tidak, tapi sudah menjadi kebudayaan di masyarakat. Kebanyakan orang akan menganggap perilaku ini sebagai sesuatu yang salah, namun beberapa teman saya yang mengatakan ini salah, suatu saat mereka akan melakukannya lagi, keluar dari gang tanpa menengok ke arah kanan, dan saya memergoki itu. Kalo sesuatu yang keliru menjadi kebiasaan, mudah bagi kita akan mengatakan itu salah, namun sulit sekali bagi kita untuk menghentikannya.
Payah.